Halaman

    Social Items

loading...
loading...
Showing posts with label kisah hikmah Rasulullah. Show all posts
Showing posts with label kisah hikmah Rasulullah. Show all posts
“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil¬lah, sebab adil itu lebih bersahabat kepada takwa..,” (QS. Al-Maidah: 8).

Rasulullah betul-betul menjadi suri contoh bagi seluruh umat manusia. Beliau menjalankan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Termasuk menjalankan perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu berbuat adil. Sebuah perilaku yang tidak gampang dilaksanakan insan sebab kebencian dan ‘perbedaan’ yang ada di antara mereka. 

Biasanya, seseorang akan berlaku adil manakala situasi dan kondisinya menguntungkan diri, keluarga, sahabat atau pun kelompoknya. Akan tetapi, jikalau keadaannya merugikan dirinya maka pasti ia akan berat -bahkan tidak- berlaku adil.

Hal itu tidak berlaku bagi Rasulullah. Rasulullah ialah seorang yang berlaku adil kepada semuanya; kepada dirinya, keluarganya, sahabatnya, dan umat Islam sendiri. Rasulullah menyebabkan keadilan sebagai sebuah aturan dan sistem yang harus ditegakkan dalam setiap situasi dan kondisi apapun. 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, saya pasti memotong tangannya”. Pada ketika itu, eksekusi dari seorang pencuri ialah potong tangan. Melalui hadits itu, Rasulullah menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan setegak-tegaknya. Apabila salah, maka harus dihukum. Tidak peduli yang melaksanakan kesalahan itu keluarganya sendiri, bahkan putri tercintanya.

Tidak hanya itu, Rasulullah juga menegakkan keadilan kepada mereka yang tidak se-iman atau tidak se-agama. Iya, keadilan Rasulullah mencakup non-Muslim. Merujuk buku  Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), dikisahkan bahwa suatu ketika Al-Asy’ats bin Qais dan seorang Yahudi menghadap Rasulullah. Al-Asy’ats mengadu dan meminta keadilan kepada Rasulullah sebab tanahnya diambil seorang Yahudi tersebut.

Setelah mendengar curhatan dan keluh kesah Al-Asy’ats, Rasulullah tidak eksklusif menyalahkan seorang Yahudi dan memintanya untuk mengembalikan tanah yang diperebutkan tersebut kepada Al-Asy'ats. Rasulullah malah bertanya kepada Al-Asy’ats apakah dirinya mempunyai bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Al-Asy’ats mengaku tidak memilikinya. 

Rasulullah kemudian meminta seorang Yahudi tersebut untuk bersumpah bahwa tanah itu memang miliknya, bukan milik Al-Asy’ats sebagaimana yang dituduhkan. Rupanya Al-Asy’ats keberatan dengan cara Rasulullah itu. Ia mengklaim, kalau seandainya disuruh bersumpah untuk memenangkan persengketaan tanah itu maka seorang Yahudi tersebut akan melaksanakan hal itu dan mengambil tanahnya.

Keberatan Al-Asy’ats itu eksklusif dijawab Allah dengan turunnya Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 77: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat serpihan (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari selesai zaman dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih”.



Dalam perkara itu, Rasulullah menegakkan keadilan dengan dua cara;

Pertama, orang yang menuntut atau mengaku mempunyai hak (Al-Asy’ast) harus bisa menghadirkan bukti kepemilikan tanah.

Kedua, orang yang dituntut (seorang Yahudi) harus bersumpah kepada Tuhan bahwa ia tidak melaksanakan apa yang dituduhkan orang mengaku mempunyai hak (Al-Asy’ast). Jika orang yang menuntut tidak bisa memperlihatkan bukti-bukti kepemilikannya, maka tanah itu menjadi milik orang yang dituntut.

Begitulah perilaku adil Rasulullah. Beliau tetap berlaku adil meskipun itu terhadap non-Muslim. Beda agama tidak menyebabkan Rasulullah berbuat tidak adil. Sikap adil Rasulullah itu seharusnya menjadi pegangan dan contoh bagi umat Islam biar berlaku adil dalam situasi dan keadaan apapun, termasuk kepada non-Muslim sekalipun.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Demi Keadilan, Nabi Pun Pernah Membela Orang Yahudi

Sayyidah Khadijah ialah perempuan -bahkan orang- yang pertama kali masuk Islam. Ia pribadi menyatakan diri berikrar bahwa ‘tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad ialah utusan Allah’, ketika suaminya itu menceritakan insiden yang terjadi di Gua Hira. Yakni Rasulullah ditemui malaikat Jibril dan diberi wahyu yang pertama. Tidak ada keraguan sedikitpun di hati Sayyidah Khadijah terhadap Rasulullah. Ia yakin bahwa suaminya itu ialah seorang Nabi dan utusan Allah.   

Rasulullah sangat besar hati ketika istrinya bersedia mengikutinya. Bahkan, selalu meyakinkan dan membenarkan ‘apa yang didapat’ Rasulullah. Sayyidah Khadijah ialah orang pertama yang memperlihatkan pertolongan moril dan materiil kepada Rasulullah dalam mendakwahkan Islam. 

Beberapa ketika sehabis insiden di Gua Hira, Rasulullah menuju sebuah gunung di Makkah. Ketika Rasulullah tiba di sana, malaikat Jibril tiba menemuinya. Jibril mulai memberikan tata cara ritual keagamaan, yaitu wudhu. Pada ketika itu, Jibril mencontohkan secara pribadi tata cara berwudhu di hadapan Rasulullah. Rasulullah lantas mengikuti setiap gerakan yang dipraktikkan Jibril ketika berwudhu.

Usai berwudhu, Jibril melakukan shalat. Rasulullah mengikuti setiap gerak-gerik Jibril dalam shalat. Setelah selesai memperlihatkan pengajaran kepada Rasulullah perihal kepingan wudhu dan shalat, Jibril kemudian pergi meninggalkannya. Rasulullah besar hati mendapatkan wahyu dari Jibril. Beliau kemudian pulang ke rumah dan menemui istrinya, Sayyidah Khadijah. Beliau ingin semoga orang yang pertama kali mempelajari wudhu dan shalat ialah Sayyidah Khadijah.

“Aku akan mengajarkan kepadamu apa yang sudah Jibril ajarkan kepadaku. Ia pun merasa sangat besar hati akan hal itu,” kata Rasulullah

Rasulullah lantas menyiapkan air. Beliau wudhu di hadapan Sayyidah Khadijah, sebagaimana cara wudhu yang diajarkan Jibril. Sayyidah Khadijah mengamati dengan seksama setiap gerakan yang dilakukan suaminya sebelum kesannya menirukannya. Keduanya lantas mengerjakan shalat sehabis selesai berwudhu. 



Ya, diantara wahyu yang turun pertama kali ialah perihal wudhu dan shalat. Memang, shalat yang lima waktu gres disyariatkan sehabis insiden Isra’ Mi’raj. Namun sebelum itu, Rasulullah dan umatnya pada awal Islam diwajibkan untuk shalat dua kali; dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada petang hari. 

Di dalam keterangan buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, 2012), Ibnu Hajar menyampaikan bahwa Rasulullah dan para sahabat sudah melakukan shalat sebelum insiden Isra Mi’raj. Meski demikian, ada perbedaan pendapat terkait dengan aturan shalat itu; apakah shalat sebelum insiden Isra Mi’raj itu wajib? Ataukah tidak? Ada yang beropini jika shalat yang diwajibkan sebelum insiden Isra’ Mi’raj ialah shalat sebelum matahari terbit dan shalat sebelum matahari terbenam tersebut. pendapat ini didasarkan kepada Al-Qur’an surah Al-Mukmin ayat 55: “Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Kisah Sayyidah Khadijah Diajari Wudhu Dan Shalat Oleh Nabi

Dalam sebuah perjalanan bersama para sahabat, Rasulullah berjumpa dengan seorang Arab kampung (Badui). Dengan lantang, orang ini memanggil Nabi -tak tanggung-tanggung- eksklusif memanggil nama (tanpa gelar kehormatan).

“Wahai Muhammad!”

Kisah orang Arab kampung -yang disebut A’rabiy- kerap membikin kita tersenyum. Kepolosan dan keterusterangan mereka dalam banyak sekali riwayat hadits mengatakan bagaimana Islam bukan hanya bicara sosok penting yang tersohor, tapi juga orang biasa yang bahkan tak kita tahu namanya.

Dari atas kendaraan, Nabi menoleh dan menjawab, “Hei, kemarilah.”

Para sobat yang menyertai Nabi, segera mendatangi orang Arab kampung tadi tanggapan perbuatannya yang dinilai kurang sopan.

“Hei kamu, pelankan sedikit suaramu pada Nabi. Kamu kok berani memanggil Nabi, namanya langsung, dengan lantang lagi. Hal itu tidak boleh dalam Al-Qur'an,” ujar seorang sobat padanya.

Tapi orang Arab kampung ini berkelit, “Tidak, saya tidak akan memelankan suaraku! Agar Nabi bisa mendengarku dengan jelas,” ujarnya. 

Ia segera menghampiri Nabi.

“Wahai Nabi, kalau ada orang yang menyayangi suatu kaum (yang berbuat kebaikan), namun bagaimana kalau ia tak ibarat mereka (dalam segi amal)?”. 

Nabi menjawab dengan santun, “Orang akan dikumpulkan bersama yang ia cintai, dan kau juga akan dikumpulkan bersama yang kau cintai.”

Riwayat cerita ini diriwayatkan oleh beberapa sobat dengan banyak sekali redaksi. Riwayat yang disitir di atas berasal dari sobat Abu Musa Al Asy’ari radliyallahu ‘anhu. Dengan cerita yang mirip dari riwayat Anas bin Malik, berikut isi pertanyaan orang Arab kampung ini:

“Wahai Rasulullah, kapan simpulan zaman akan tiba?” tanyanya.

Nabi menimpali, “Memang apa yang telah kau persiapkan?”

“Wahai Nabi, saya tidak menyiapkan suatu amalan shalat atau puasa yang banyak untuk hari itu. Tapi saya sungguh menyayangi Allah dan Rasul-Nya.”

Nabi menjawab, sebagaimana jawaban di atas, bahwa seseorang kelak di hari simpulan zaman akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dia cintai. Orang Arab kampung ini girang betul. Seperti disebutkan sobat Anas bin Malik, ia dan para sobat tidak pernah melihat wajah muslim yang sesumringah itu.

Kisah wacana al-mar’u ma’a man ahabba (seseorang akan dikumpulkan bersama yang dicintai) diriwayatkan dalam banyak kitab hadits, mirip Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Sahih al-Bukhari, dan kitab hadits lainnya dari banyak sekali jalur riwayat. 



Imam al Mubarakfuri memaparkan dalam “Tuhfatul Ahwadzi” yang merupakan syarah kitab “Sunan at-Tirmidzi” bahwa dari ragam riwayat itu, keseluruhannya saling melengkapi wacana bagaimana seorang muslim yang tidak bisa melaksanakan banyak amal mirip orang-orang saleh, biar tetap optimis, dan terus mempertahankan cinta pada Allah, Rasul-Nya dan para shalihin.

مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا بِالْإِخْلَاصِ يَكُونُ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ عَمَلَهُمْ لِثُبُوتِ التَّقَارُبِ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَرُبَّمَا تُؤَدِّي تِلْكَ الْمَحَبَّةُ إِلَى مُوَافَقَتِهِمْ 

“Jika seseorang menyayangi kalangan shaleh dengan ikhlas, maka sebagaimana dinyatakan Nabi, ia termasuk golongan mereka kendati amalannya tidak mirip yang dilakukan orang-orang shaleh tadi, alasannya keterpautan hati dengan mereka. Kiranya rasa cinta itu memotivasi biar bisa berbuat serupa.” (Muhammad bin Abdurrahman al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at Tirmidzi [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah], juz 7, hal 53)

Dengan menyayangi orang shaleh, yang merupakan perwujudan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, kiranya bisa menjadikan kerendahhatian dan optimisme dalam beragama. Soal rasa optimis dalam beragama ini, di simpulan percakapan dengan Arab kampung tadi Nabi berujar kepada para sobat wacana perumpamaan luasnya ampunan dan rahmat Allah.

“Sesungguhnya di sisi Barat sana terdapat suatu pintu yang lebarnya sekitar 40 atau 70 tahun perjalanan, yang senantiasa Allah buka pintu tobat di sana sepanjang ada langit dan bumi, hingga ditutup-Nya dikala matahari terbit dari Barat sana, kelak di hari kiamat.” (HR. Al Humaidi dari sobat Shafwan bin ‘Assal al-Muradi)

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Kisah Rasulullah Menghadapi Orang Badui Yang Kasar

Rasulullah yakni seorang yang bijak dan adil. Jika benar, maka akan dikatakan benar. Begitu pun sebaliknya. Jika salah, maka Rasulullah akan mengatakannya salah. Tidak peduli apakah yang melaksanakan kesalahan itu yakni dari umat Islam sendiri. Rasulullah meletakkan keadilan dan kebenaran di atas semua golongan. 

Biasanya, seseorang akan berlaku adil manakala situasi dan kondisinya menguntungkan diri, keluarga, sobat ataupun kelompoknya. Akan tetapi, jikalau keadaannya merugikan diri atau kelompoknya maka pasti ia akan berat, bahkan cenderung tidak berlaku adil.  

Namun hal itu tidak berlaku bagi Rasulullah. Rasulullah yakni seorang yang berlaku adil kepada semuanya; kepada dirinya, keluarganya, sahabatnya, umat Islam sendiri, bahkan kepada non-Muslim sekalipun. Rasulullah mengakibatkan keadilan sebagai sebuah aturan dan sistem yang harus ditegakkan dalam setiap situasi dan kondisi apapun.

Alkisah, suatu dikala terjadi perselisihan antara seorang Muslim dan seorang Yahudi. Cerita bermula dikala seorang Yahudi sedang memperlihatkan barang dagangannya kepada seorang Muslim. Lalu seorang Muslim tersebut ‘membalas’ dengan sesuatu yang dibenci seorang Yahudi itu. Tidak terima dengan itu, seorang Yahudi mengucapkan sumpah serapah. Seorang Yahudi itu juga mengagungkan Nabi Musa as. di atas semua manusia.

Mendengar respons balik mirip itu, seorang Muslim tersebut tidak terima. Dia bergegas mendekati seorang Yahudi tersebut dan eksklusif menamparnya. Ya, beliau tidak terima seorang Yahudi tersebut yang melebihkan Nabi Musa as. di atas semua manusia. Menurutnya, Nabi Muhammad saw. yang ‘lebih unggul’.

“Engkau mengatakan, Demi Dzat yang telah menentukan Musa atas semua manusia, sedangkan ada Nabi Muhammad di antara kita?” kata seorang Muslim tersebut kepada seorang Yahudi itu.

Seorang Yahudi tersebut kemudian lapor kepada Rasulullah. Ia tidak terima ditampar oleh seorang Muslim mirip itu. Menariknya, merujuk buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), Rasulullah malah membela seorang Yahudi tersebut. Beliau ‘memarahi’ seorang Muslim itu dan bertanya kepadanya wacana alasan menampar seorang Yahudi itu. 



Rasulullah lantas bersabda semoga tidak membanding-bandingkan dirinya dengan para nabi Allah sebelumnya. Rasulullah menjelaskan bahwa para nabi mempunyai kiprah yang sama, yaitu menyeru kepada umat insan untuk mengesakan Allah (Tauhid). 

Rasulullah mengibaratkan dirinya dengan para nabi sebelumnya mirip seorang yang sedang membangun rumah. Para nabi sebelumnya membangun semua sisi dan bab rumah, mulai dari tembok sampai atap. Memperindah dan membaguskan rumah tersebut. Namun ada satu bab yang belum final digarap, yaitu satu daerah ubin di suatu sudut. Kata Rasulullah, dirinya-lah ‘ubin’ itu. Beliau ditugaskan untuk menyempurnakan bangunan rumah tersebut. Dengan itu, Rasulullah ditahbiskan dirinya sebagai epilog para nabi. 

“Janganlah kalian melebihkanku di antara para nabi (yang lainnya),” tegas Rasulullah.

Rasulullah selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengagungkan semua nabi. Tidak melebihkan satu dengan yang lainnya. Juga tidak merendahkan satu dengan yang lainnya. Kata Rasulullah dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim: “Para nabi yakni saudara se-ayah dan ibu-ibu mereka berbeda-beda, sedangkan agama mereka yakni satu”.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Kisah Rasulullah Memarahi Sobat Yang Menampar Orang Yahudi

Mengakui kesalahan diri ialah salah satu sikap yang paling berat untuk dilakukan. Terlebih bila yang melakukan kesalahan tersebut ialah orang yang memiliki kedudukan atau jabatan tinggi, atau merupakan tokoh besar. Tentu mereka enggan mengakui kekhilafan diri. Bahkan, tidak sedikit yang mencari kambing hitam atas kesalahan yang diperbuatnya. 

Hanya orang besar dan yang berlapang dadalah yang berani mengakui kesalahan diri atau kekhilafannya. Mengapa demikian? Karena setiap orang memiliki hasrat untuk dianggap penting dan ahli oleh orang lain. Oleh sebab ialah itu, mereka beranggapan bahwa dengan mengakui kesalahan diri, maka harkat dan martabat mereka akan menurun. Tentu ini akan merugikan citra mereka. 

Padahal sebetulnya, berani mengakui kesalahan diri ialah sikap yang gentle. Ia berani mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya. Bukan malah menyembunyikan, atau mengelaknya. 

Terkait sikap berani mengakui kesalahan diri, kita sanggup mencar ilmu dari Rasulullah. Seorang yang memiliki kedudukan paling agung di dunia. Nabi dan Rasul terakhir. Seseorang yang paling dicintai Allah, Tuhan sekalian alam. Dan seseorang yang paling banyak diikuti dan dicintai oleh umat manusia. Meski memiliki kedudukan yang begitu tinggi, Rasulullah selalu mengakui kekhilafan yang diperbuat.

Salah satu kisah datang dari sebuah hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i dan Abu Dawud dari Abu Said bin Jubair. Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa  suatu saat Rasulullah sedang membagi-bagikan sesuatu kepada para sahabatnya. Nahasnya, pada kesempatan itu ada salah seorang sobat yang jatuh dan mengenai pelepah kurma yang dibawa Rasulullah hingga menjerit kesakitan. 

Melihat insiden itu, Rasulullah eksklusif memanggil sobat tersebut. Bukan menyuruhnya untuk tutup mulut, Rasulullah malah meminta sobat tersebut untuk membalasnya. Yakni, menusuk perut Rasulullah dengan pelepah kurma juga sebagai bentuk sikap berani mengakui kekhilafan. Tentu saja, sobat tersebut eksklusif menolak undangan tersebut. Ia mengaku sudah memaafkan apa yang dilakukan Rasulullah itu.

Kisah lain ihwal Rasulullah yang berani mengakui kesalahan diri datang dari Ibnu Umar. Dikutip buku Love, Peace, dan Respect: 30 Teladan Nabi dalam Pergaulan, diceritakan bahwa suatu dikala Rasulullah sedang mengimami shalat. Pada dikala membaca suatu surah –setelah membaca Fatihah- Rasulullah tiba-tiba lupa dan ragu untuk membaca saluran sebuah ayat dalam surah tersebut.

Setelah shalat, Rasulullah menghampiri Umar bin Khattab yang menjadi salah satu makmumnya. Kepada Umar bin Khattab, Rasulullah bertanya ihwal apakah ayat yang dibacanya di dalam shalat ada yang keliru. Umar bin Khattab mengiyakan. Rasulullah salah dalam membaca ayat tersebut. 

“Aku lupa, mengapa kamu tidak mengingatkan,” kata Rasulullah kepada Umar bin Khattab dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud.



Selain itu, ada kisah ihwal bagaimana Rasulullah mengakui kesalahan diri yang begitu menyentuh. Dikutip dari buku Kisah Teladan Rasulullah Menghadirkan Jiwa Muraqabah Lewat Puasa, pada dikala Rasulullah jatuh sakit –beberapa hari sebelum wafat- ia meminta para sobat untuk membawanya ke masjid. Usai didudukkan di mimbar, Rasulullah meminta Bilal untuk memanggil semua sahabatnya agar datang ke masjid.

Pada dikala itu, Rasulullah memperlihatkan banyak hal. Mulai dari nasihat, petuah, hingga pertanyaan kepada para sahabatnya. Rasulullah bertanya apakah dirinya memiliki hutang kepada para sahabatnya. Awalnya, para sobat menjawab bahwa Rasulullah tidak memiliki hutang sama sekali kepada para sahabat, bahkan sebaliknya. 

Akan tetapi, tiba-tiba ada seorang sobat yang mengacungkan tangan. Akasyah namanya. Ia mengaku jikalau Rasulullah memiliki ‘masalah’ dengannya. Apakah itu disebut hutang atau tidak, ia tidak tahu. Namun yang pasti, Akasyah meminta Rasulullah untuk merampungkan ‘masalahnya’ itu. 

Akasyah kemudian bercerita, dulu pada dikala perang Uhud, Rasulullah mengayunkan cemeti ke belakang kudanya. Akan tetapi, Akasyah menyebutkan jikalau ayunan cemeti Rasulullah tersebut mengenai dadanya, bukan belakang kuda Rasulullah. Setelah mendengar kisah Akasyah, Rasulullah mengakui jikalau itu ialah kekhilafannya. Rasulullah pun meminta Akasyah untuk melakukan hal yang sama; memukul dada Rasulullah dengan cemeti. Singkat cerita, Akasyah tidak jadi memukul Rasulullah. Ia malah memeluk tubuh Rasulullah dengan erat. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Rasulullah Berani Mengakui Kesalahan

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari tanggapan hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ada banyak hadits ihwal tetangga yang telah disabdakan Rasulullah. Salah satunya yakni hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di atas. Di situ, Rasulullah jelas dan tegas menyerukan kepada mereka yang mengaku beriman kepada Allah untuk berbuat baik kepada tetangga, bukan malah memusuhinya.

Manusia yakni makhluk sosial. Ia tidak mampu hidup sendirian, butuh orang lain dalam menjalani kehidupan ini. Dan tetangga yakni orang yang paling akrab dengan kehidupan kita. Bahkan -karena rumahnya yang akrab dengan rumah kita- tetangga lebih mengetahui segala tingkah polah kita, dibandingkan keluarga sendiri yang tinggal berjauhan.

Tetangga memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Mereka harus disayangi dan diperlakukan dengan baik. Dalam hadits Rasulullah yang lain disebutkan bahwa seorang dianggap Muslim manakala mereka berbuat baik kepada tetangganya. Akan tetapi, tidak semua orang memiliki korelasi yang harmonis dengan tetangganya. Tidak sedikit dari mereka yang musuh-musuhan dengan tetangganya alasannya yakni suatu persoalan.

Dalam hal memuliakan dan berbuat baik kepada tetangga, Rasulullah telah memperlihatkan teladan yang baik kepada kita. Dikisahkan, suatu saat pada dikala Abu Hurairah kelaparan Rasulullah lewat di depannya. Kemudian Rasulullah meminta Abu Hurairah untuk mengikutinya. Sesampai di suatu tempat, Abu Hurairah  mendapati ada susu setempayan. 

Rupanya impian Abu Hurairah meleset. Rasulullah tidak eksklusif memintanya untuk meminum susu. Malah Rasulullah menyuruh Abu Hurairah untuk memanggil ahli shuffah, tetangga Rasulullah yang sangat miskin, lemah, dan tidak memiliki tempat tinggal. Mereka menjadi tetangga Rasulullah alasannya yakni tinggal di serambi Masjid Nabawi. Sementara rumah Rasulullah menyatu dengan Masjid Nabawi.  

“Pergilah ke ahli shuffah, undang mereka ke sini,” perintah Rasulullah kepada Abu Hurairah, dikutip dari buku Bilik-bilik Cinta Muhammad.

Pada dikala ahli shuffah datang, Rasulullah eksklusif menyuruh mereka untuk meminum susu tersebut. Satu per satu ahli shuffah meminum susu tersebut hingga puas. Setelah semuanya kebagian, Rasulullah menyuruh Abu Hurairah untuk meminum sisa susunya hingga puas. Rasulullah sendiri juga meminum susu sisa ahli shuffah itu. 



Ya, Rasulullah yakni orang yang sangat perhatian dengan tetangganya. Apakah tetangganya sudah makan atau belum. Rasulullah tidak membiarkan dirinya kenyang sendiri sementara tetangganya dalam keadaan kelaparan. Perhatian Rasulullah dalam hal ini juga ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari: “Bukanlah seorang Mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya”.

Apabila mendapat hadiah, Rasulullah memberi sebagian untuk istrinya dan sebagian yang lain untuk tetangganya, ahli shuffah. Sementara jikalau mendapat sedekah, Rasulullah eksklusif memperlihatkan semua kepada tetangganya tanpa mengambilnya sedikitpun. Dikisahkan, suatu saat Fatimah meminta kepingan sedekah dari Rasulullah. Rasulullah menolaknya, meski Fatimah pada dikala itu sangat membutuhkan. Rasulullah lalu memperlihatkan semua harta sedekah itu kepada ahli shuffah.  

Rasulullah juga sangat menjaga ucapan dan perkataan supaya tidak menyakiti tetangganya. Apalagi menggunjing dan membuka aib tetangga di depan khalayak umum. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Rasulullah menegaskan: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya”.

Lalu, apa yang harus dilakukan apabila tetangga berbuat jahat kepada kita? Dalam hal ini pun Rasulullah sudah memperlihatkan rambu-rambu. Rasulullah menyarankan untuk tetap berbuat baik kepadanya dan bersabar. Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah menuturkan bahwa salah satu orang yang dicintai Allah yakni mereka yang tetap bersabar meski tetangganya menyakitinya. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Rasulullah Dalam Memperlakukan Tetangga

Salah satu mukjizat Nabi Sulaiman as. ialah bisa berbicara dan memahami bahasa hewan. Dalam beberapa literatur Islam –utamanya Al-Qur’an surah An-Naml, Nabi Sulaiman dikisahkan bisa berinteraksi dengan beberapa binatang menyerupai burung dan semut-. Hewan-hewan tersebut paham apa yang disampaikan Nabi Sulaiman. Begitu pun sebaliknya.

Tapi kemampuan memahami dan berinteraksi dengan binatang tidak hanya dimiliki Nabi Sulaiman saja. Nabi Muhammad saw. juga memiliki kemampuan yang sama. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud sebagaimana yang tertera dalam kitab Syakshiyatu Ar-Rasul, dikisahkan Rasulullah berinteraksi dengan seekor unta.

Diceritakan, suatu hari Rasulullah masuk ke dalam sebuah kebun kurma milik seorang Anshar. Di kebun tersebut, didapati ada seekor unta yang tengah menangis mengeluarkan air mata dikala melihat Rasulullah. Penasaran dengan hal itu, Rasulullah kemudian mendekati unta tersebut. Setelah diusap pundaknya, unta tersebut menjadi diam. Pada kesempatan itu, si unta mengadu Rasulullah bahwa ia kelaparan dan kelelahan. 

Kemudian Rasulullah menanyakan siapa pemilik unta tersebut. Setelah diketahui bahwa pemilik unta tersebut ialah si fulan, Rasulullah memerintahkannya untuk merawat dan memeliharanya dengan baik. Jangan hingga membuat binatang peliharaan tidak terurus dengan baik.

Kisah Rasulullah berinteraksi dengan binatang juga tertera dalam sebuah hadits riwayat Ahmad. Dalam hadits tersebut, Rasulullah berhasil ‘menaklukkan’ seekor unta yang terkenal galak dan beringas. 



Dikisahkan, bahwa suatu dikala Rasulullah memasuki sebuah kebun miliki Bani Najjar yang didalamnya ada seekor unta galak. Dari kisah yang beredar, unta tersebut akan menyerang siapapun yang masuk ke dalam kebun. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dikala Rasulullah memasuki kebun. Pada dikala Rasulullah memanggilnya, unta tersebut patuh dan tidak menyerang. Bahkan, si unta menjulurkan lidahnya ke tanah hingga menderum di hadapan Rasulullah. Langsung saja Rasulullah memerintahkan kepada pemiliknya untuk mengikatnya. 

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun antara langit dan bumi melainkan pasti mengetahui bahwa sesungguhnya aku ialah Rasulullah, kecuali makhluk yang bermaksiat dari jin dan manusia,” kata Rasulullah usai berhasil menjinakkan unta galak tersebut.

Di samping itu, Rasulullah juga memiliki kemampuan luar biasa lainnya menyerupai membelah bulan, mengeluarkan air dari ujung jari-jari, menyembuhkan penyakit, ‘memperbanyak’ makanan, dan lainnya. Meski demikian, Al-Qur’an ialah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Rasulullah.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Rasulullah Berbicara Dengan Unta

Setelah menerima tekanan yang begitu hebat dari kafir Quraisy Mekah, kesannya Rasulullah dan para pengikutnya menerima perintah untuk berhijrah (bermigrasi) ke Madinah. Sebuah perpindahan yang tidak biasa. Bukan hanya untuk menghindari ancaman dan penindasan kafir Quraisy Mekah, tapi juga sebagai upaya untuk menyelamatkan dan membuatkan agama Islam.

Akan tetapi, perjalanan Rasulullah dari Mekah ke Madinah sangat berat. Nyawa taruhannya. Para musuh terus memburu bahkan hingga Rasulullah meninggalkan Mekah. Untuk itu, banyak sekali upaya dilakukan untuk ‘mengelabuhi’ pihak musuh. Salah satunya menghapus jejak kaki Rasulullah dikala tengah berhijrah ke Madinah. Maklum, orang Arab padang pasir sangat berilmu dan hebat mencari jejak-jejak kaki di gurun pasir.

Adalah Amir bin Fuhayra yang ditugaskan untuk menghapus jejak kaki Rasulullah dan Abu Bakar as-Siddiq. Dulunya, dia adalah seorang penggembala. Lalu dibeli Abu Bakar sebagai budak dan disuruh menggembala domba-dombanya. Nantinya, Abu Bakar memerdekakannya dari statusnya sebagai budak. Hingga kesannya ia menjadi salah satu sahabat Rasulullah.

Seperti dikutip buku Muhammad: Kisah Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Amir bin Fuhayra diperintahkan Abu Bakar untuk mengikuti perjalanan mereka. Sambil menggembala kambing, Amir bin Fuhayra menghapus jejak kaki Rasulullah, Abu Bakar, serta Abdullah bin Abu Bakar dan hewan tunggangannya dari mulai rumah Abu Bakar hingga Gua Tsur. 

Sesampainya di Gua Tsur, Abu Bakar menyuruh anaknya, Abdullah, untuk kembali ke Mekah, bersama dengan Amir bin Fuhayra. Ia ditugaskan untuk menghimpun informasi perihal apa rencana dan seni manajemen kafir Quraisy sesudah mengetahui bahwa Rasulullah telah meninggalkan Mekah. 



Selama Abdullah mencari informasi terkait pihak musuh, Amir bin Fuhayra kembali bertugas menggembala domba-domba Abu Bakar bersama dengan teman-temannya yang lain. Keesokan harinya, sesudah menerima informasi yang valid, Abdullah dan Amir bin Fuhayra berangkat ke Gua Tsur, daerah dimana Rasulullah dan ayahnya tinggal sementara. Lagi-lagi, Amir bin Fuhayra ditugaskan untuk menutupi jejak Abdullah. 

Kepada Rasulullah dan ayahnya, Abdullah melaporkan bahwa kafir Quraisy membuat sayembara. Siapapun yang berhasil menemukan dan membawa Rasulullah kembali ke Mekah, maka ia akan menerima hadiah 100 ekor unta. Berkat Allah, Rasulullah dan Abu Bakar selamat dari kejaran pihak musuh.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Penggembala Yang Menyelamatkan Nyawa Nabi