Halaman

    Social Items

loading...
loading...
Showing posts with label kisah gusdur. Show all posts
Showing posts with label kisah gusdur. Show all posts
Gus Dur berpesan, “Kalau ngaji Qur'an itu yang sungguh-sungguh. Sebab Qur'an itu sanggup menjadi syafaat sanggup juga menjadi laknat. Pilihannya cuma dua itu.”

Qur'an itu hurufnya ada 4 :  ق ر أ ن

Pertama Qaf

Sifatnya qalqalah, artinya guncang. Setiap orang yang menempuh jalan untuk menjadi Ahlul Qur’an akan diuji oleh Allah Ta’ala dengan cobaan-cobaan yang menggonjang ganjingkan hidupnya.

Kedua Ra'

Sifatnya takrir, artinya mengulang-ulang. Meskipun cobaan yang mendera jalanmu kelak akan mengguncang hidupmu, sekali-kali jangan engkau pernah berhenti, alasannya yakni yakni Qur’an itu harus selalu dibaca berulang-ulang meskipun sudah khatam.



Ketiga Hamzah

Sifatnya syiddah berarti kuat. Maksudnya, kamu harus benar-benar kuat menjaga Qur’anmu dengan membaca dan membacanya lagi dan lagi, meskipun hidupmu digonjang-ganjingkan duduk kasus yang tak habis-habis. 
Keempat Nun

Sifatnya idzlaq, artinya ringan. Insya Allah, jikalau kamu kuat dan sabar atas segala cobaan yang mengguncang jiwa raga, sembari mengistiqomahkan ngajimu dengan terus-menerus nderes Qur’anmu, hidup matimu akan ringan, mirip ringannya mulutmu dikala mengucapkan nun.

Wallahu A’lam

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Pesan Gus Dur Untuk Para Penghafal Al-Qur’An

Sudah tidak asing bagi warga NU, bahwa Gus Dur adalah salah satu penggemar buah durian. Bahkan Ibu Shinta Nuriyah pernah bercerita, “Bapak paling pantangan jikalau dilarang-larang oleh dokter. Pernah suatu kali dokter berpesan untuk tidak makan durian, namun bapak tetap saja makan durian mirip biasanya”. Ada sebuah kisah perihal Gus Dur dengan seorang penjual durian. Kisah ini menjadi salah satu bukti bahwa Gus Dur adalah salah seorang wali. Gus Dur sanggup melihat kesusahan luar biasa yang melanda seseorang yang belum dikenalinya, bahkan baru pertama kali ditemuinya. Dan anehnya lagi seseorang itu belum bercerita apapun ke Gus Dur perihal permasalahan hidup yang melilitnya. Berikut ini ceritanya:

Suatu dikala Gus Dur (masih menjabat Presiden RI) berkunjung ke Kota Malang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia memerintahkan sopirnya untuk berhenti.

"Kita beli durian dulu!" kata Gus Dur

Akhirnya, rombongan kepresidenan berhenti semua. Setelah membeli beberapa durian, Gus Dur berkata, "Yang di amplop itu berikan ke ibu ini!"

Sang Ajudan mirip tidak percaya dengan apa yang didengar. Sang Ajudan pun mendekati Gus Dur sambil berbisik, "Pak, uang yang di amplop sepuluh juta."

"Iya, kasihkan semua!" kata Gus Dur



Akhirnya, Sang Ajudan pun memperlihatkan amplop itu kepada si penjual durian. Subhanallah, seketika si penjual durian yang notabene adalah seorang ibu yang usianya tidak muda lagi eksklusif bersimpuh di depan Gus Dur.

"Alhamdulillah...Ya Allah. Matur nuwun Pak Gus Dur. Niki wau anak kulo mboten pareng dibeto wangsul saking rumah sakit, menawi mboten saget mbayar sedoso juta. Anak kulo dirawat wonten rumah sakit…"

(Alhamdulillah...Ya Allah, Terima kasih Pak Gus Dur. Baru saja anak saya tidak boleh dibawa pulang dari rumah sakit, bila tidak sanggup membayar biaya sepuluh juta. Anak saya sedang dirawat di rumah sakit…). 

Dikisahkan Oleh: KH. Marzuki Mustamar (Ketua PWNU Jawa Timur)


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Penjual Durian Diberi 10 Juta Oleh Gus Dur

Karakter Gus Dur banyak dipengaruhi oleh ibundanya, Nyai Hj. Sholihah Munawwaroh. Perempuan tangguh yang ditinggal wafat suaminya, KH. Abdul Wahid Hasyim dikala dirinya mengandung putra keenam, Hasyim Wahid, ini menghipnotis Gus Dur dalam keteguhan memegang prinsip dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan.

Nyai Hj. Sholihah binti KH. Bisri Syansuri ini sedang mengandung anak keenamnya dikala sang suami, KH. Abdul Wahid Hasyim, ulama dan negarawan muda paling dikenal dalam sejarah Indonesia, berpulang selesai kecelakaan di Bandung, 1953.

Nyai Hj. Sholihah, yang belum genap berusia 30 tahun menjanda dengan tanggungan 6 buah hati: Abdurrahman Ad-Dakhil, Aisyah, Shalahuddin, Lily Khadijah, Umar dan Hasyim Wahid. Tak tega melihatnya sendirian di Jakarta, KH. Bisri Syansuri meminta putrinya itu kembali tinggal ke Jombang. Nyai Hj. Sholihah menolak, dia bertekad membesarkan buah hatinya sendirian di ibukota. Di kala 1950-an, di mana kondisi sosial-politik dan ekonomi tidak stabil, tentu pilihan ini sangat beresiko.

Instingnya sebagai seorang perempuan tangguh mulai terasah dikala dia mulai berbisnis beras. Bahkan menjadi makelar mobil dan pemasok material ke kontraktor pun pernah dia jalani. Nyai Hj. Sholihah juga merintis panti asuhan, rumah bersalin, beberapa majlis ta’lim, dan kegiatan sosial lainnya. Karakter Gus Dur yang peduli kepada wong cilik, mendahulukan kepentingan orang lain, dan kawasan bersandar mereka yang terpinggirkan dan terdzalimi, menurun secara genetik dari ibundanya.

Tak hanya itu, rumahnya dia jadikan sebagai salah satu basis politik NU. Keputusan penting seputar tugas NU di perpolitikan digodog di sini oleh dua tokoh sentralnya: KH. Bisri Syansuri, ayahnya; dan KH. A. Wahab Chasbullah, pakdenya. Sikap NU terkait dengan Dekrit Presiden, Kabinet Gotong Royong, hingga keputusan cepat Muslimat dan NU beberapa waktu usai G-30-S/PKI digodog di sini.

Gus Dur bersama Ibundanya


Dengan kerja keras dan tirakatnya, kelak para buah hatinya menjadi orang berhasil di bidangnya: Abdurrahman Ad-Dakhil alias Gus Dur menjadi Presiden Ke-4; Aisyah Hamid Baidlawi menjadi ketua Muslimat NU dan politisi Golkar dan Lili Khadijah menjadi politisi PKB, Sholahuddin Wahid menjadi Pengasuh Pesantren, Umar Wahid menjadi Direktur Rumah Sakit di Jakarta.

Bahkan, dalam beberapa keputusan penting di PBNU, dikala para kiai "gagal" melunakkan Gus Dur, mereka memilih jalan menghadap Nyai Hj. Sholihah semoga sanggup melunakkan putranya. Berhasil. Gus Dur taat pada ibundanya. Karakter Gus Dur yang dipahat ibundanya, juga sama dengan yang dialami oleh seorang yatim lainnya, BJ. Habibie. Keduanya ditinggal wafat sang ayah dalam usia belia, ditempa sang ibu, dan kemudian menjadi presiden RI.

Ketika Gus Dur di Universitas al-Azhar, Nyai Hj. Sholihah kerap menitipkan (melalui para sahabatnya) beberapa botol kecap dan puluhan sarung semoga Gus Dur mau menjualnya. Maksudnya, supaya menjadi suplemen uang saku. Apa daya, Gus Dur memang nggak berbakat sebagai pedagang. Kecap dan sarung memang ludes, bukan dibeli, tapi diminta para sahabat-sahabatnya.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Gus Dur Digembleng Oleh Ibundanya