Halaman

    Social Items

loading...
loading...
Showing posts with label Kisah Nabi dan Rasul. Show all posts
Showing posts with label Kisah Nabi dan Rasul. Show all posts
Kisah ini berawal dari kesuksesan Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman telah memperoleh bermacam kenikmatan duniawi. Semua tunduk di bawah perintahnya. Manusia, jin, hewan liar, aneka burung, dan bahkan angin. Ketika itu tumbuh rasa bangga di dalam hatinya.

“Tuhanku, perkenankan hamba menyediakan makan untuk semua makhluk hidup setahun penuh,” kata Nabi Sulaiman memohon izin kepada Allah.

“Kau tak mungkin sanggup,” jawab Allah.

“Kalau begitu, izinkan hamba (menyediakannya) dalam sehari saja,” kata Nabi Sulaiman.

Ketika mendapatkan izin sehari dari Allah, Nabi Sulaiman memerintahkan pasukannya baik kalangan jin dan manusia untuk menyebar dan mendata semua makhluk yang ada di muka bumi. Ia juga meminta mereka untuk memasak dan menyiapkan hidangan selama 40 hari.

Kepada angin, Nabi Sulaiman memerintahkan supaya tidak bergerak selama itu supaya tidak menerbangkan kuliner yang sedang disiapkannya untuk memberi makan sehari semua makhluk Allah di muka bumi.

Nabi Sulaiman meminta pasukannya untuk mengumpulkan kuliner hari demi hari di sebuah padang luas. Pasukannya bekerja keras memenuhi usul rajanya. Sampai tiba waktunya, kuliner yang disiapkan itu menggunung.

“Sulaiman, siapa duluan yang akan kau beri makan?” kata Allah setelah genap 40 hari persiapan hidangan.

“Makhluk-Mu yang di darat dan di laut,” jawab Nabi Sulaiman.

Allah kemudian memerintahkan ikan paus, salah satu penghuni samudera yang luas untuk memenuhi usul makan Nabi Sulaiman. Ikan itu pun mengangkat kepalanya dan bergerak maju ke arah kuliner yang menggunung itu.

“Wahai Sulaiman, hari ini Allah menjadikan rezekiku melalui tanganmu,” kata ikan paus tersebut.

“Silakan makan,” kata Nabi Sulaiman yang diberi anugerah mukjizat mampu berbicara dengan hewan dan makhluk halus.



Setelah diizinkan, ikan paus itu pun melahap hidangan Nabi Sulaiman yang menggunung tersebut. Belum genap sekejap, ikan itu melahap semua hidangan yang disiapkan 40 hari lamanya. Habis tanpa sisa. Sementara itu Nabi Sulaiman dan pasukannya terperangah melihat ikan paus itu melahap semua persediaan makanan.

“Sulaiman, kenyangkan aku. Aku masih lapar,” kata ikan paus.

“Kau belum kenyang?” tanya Nabi Sulaiman

“Hingga kini saya belum kenyang,” kata ikan paus.

Nabi Sulaiman tidak mampu menjawab. Ia menyerah takluk di hadapan kuasa Allah. Ia duduk bersimpuh kemudian bersujud.

سُبْحَانَ مَنْ تَكَفَّلَ بِرِزْقِ كُلِّ مَرْزُوقٍ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُ

“Mahasuci Tuhan yang menjamin rezeki semua makhluk-Nya dari jalan yang tak terpikirkan,” sembah puji Nabi Sulaiman sebagai pengakuan.

Kisah ini disarikan dari Kitab Durratun Nasihin fil Wa‘zhi wal Irsyad karya Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir Al-Khaubawi, hal. 229-230.

Kisah ini menyarankan kerendahan hati atas segala capaian, syukuran atas suatu capaian, sedekah terhadap semua makhluk baik di darat maupun di laut, kepercayaan bahwa Allah penjamin rezeki, dan juga pengakuan atas kuasa Allah. 

Wallahu A‘lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Nabi Sulaiman Memberi Makan Ikan Paus

Mungkin, selama ini kita menerka bahwa perbuatan gibah (menggunjing) hanyalah kesalahan biasa, bahkan menganggapnya bukan sebagai kesalahan, saking seringnya pengecap kita dipergunakan untuk menggunjing, mengungkap, dan membuatkan malu orang lain; atau saking ringannya jari-jari kita dipergunakan untuk menulis kata-kata umpatan dan hinaan kepada orang lain melalui media sosial. Na‘udzu billah.

Padahal, gibah merupakan perbuatan dosa besar, lantaran disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”. (QS. Al-Hujurat: 12).

Menurut para ulama, di antara kriteria dari perbuatan dosa besar yaitu larangan dan ancamannya disebutkan pribadi dalam Al-Qur’an. Namun, sebelum masuk kepada bahaya dan konsekuensi dari perbuatan tersebut, ada baiknya kita melihat bagaimana pengertian gibah itu sendiri. Sebab, boleh jadi banyaknya orang yang berbuat gibah lantaran belum mengenali batasan-batasannya.

Seorang sobat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa itu gibah, ya Rasul?”. Beliau menjelaskan, “(Gibah itu) menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.”

Sahabat tadi bertanya lagi, “Bagaimana kalau apa yang saya ceritakan itu benar-benar terjadi pada saudaraku?”

Dijawab oleh Rasulullah SAW, “Jika apa yang engkau ceritakan itu benar-benar terjadi, berarti engkau telah menggunjingnya. Namun, kalau apa yang engkau ceritakan itu tidak terjadi, berarti engkau telah berbuat kebohongan padanya.”

Dari hadits di atas, sanggup disimpulkan bahwa gibah artinya menceritakan apa yang terjadi pada orang lain yang apabila terdengar oleh orang yang diceritakannya niscaya tidak menyukainya, meski apa yang diceritakan itu benar-benar terjadi padanya.

Suatu hari, Siti Aisyah pernah bercerita di hadapan Nabi SAW ihwal seorang wanita. Terakhir, Siti Aisyah memungkas, “Alangkah pendeknya perempuan itu, ya Rasul!”. Mendengar demikian, ia pribadi menegur, “Sungguh engkau telah menggunjingnya”. Pernyataan Rasulullah SAW itu mengisyaratkan bahwa apabila yang disampaikan Siti Aisyah itu terdengar oleh perempuan tadi, niscaya tidak menyukainya, meski keadaan perempuan tersebut memang demikian adanya.



Anehnya, mengapa para pelaku gibah seakan mendapat “kenikmatan” tersendiri dikala melakukannya. Tidaklah mengherankan lantaran Iblis senantiasa menarik hati insan melalui aneka macam pintu, termasuk dari gibah ini.

Konon, bibir orang-orang yang bahagia berbuat gibah, oleh Iblis dilumati dengan madu, sebagaimana dikisahkan Imam Al-Ghazali dalam “Mukasyafatul Qulub”. Tujuannya biar mereka selalu merasa “manis” dikala membicarakan dan membuatkan malu orang.

Dikisahkan, dalam sebuah perjalanan, Nabi Isa AS pernah bertemu dengan Iblis yang sedang membawa madu di salah satu tangannya dan membawa bubuk di tangan lainnya.

Ditanya oleh Nabi Isa, “Apa yang akan kamu lakukan dengan madu dan pasir itu, hai musuh Allah?”

Iblis menjawab, “Madu ini akan saya oleskan pada bibir para mahir gibah biar mereka merasa cantik dan semakin ulet melaksanakan gibahnya. Sementara bubuk ini saya balurkan pada wajah bawah umur yatim, sehingga orang-orang merasa benci kepada mereka”.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Kisah Obrolan Nabi Isa Dengan Iblis Ihwal Menggunjing

Mungkin, selama ini kita menerka bahwa perbuatan gibah (menggunjing) hanyalah kesalahan biasa, bahkan menganggapnya bukan sebagai kesalahan, saking seringnya pengecap kita dipergunakan untuk menggunjing, mengungkap, dan membuatkan malu orang lain; atau saking ringannya jari-jari kita dipergunakan untuk menulis kata-kata umpatan dan hinaan kepada orang lain melalui media sosial. Na‘udzu billah.

Padahal, gibah merupakan perbuatan dosa besar, lantaran disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”. (QS. Al-Hujurat: 12).

Menurut para ulama, di antara kriteria dari perbuatan dosa besar yaitu larangan dan ancamannya disebutkan pribadi dalam Al-Qur’an. Namun, sebelum masuk kepada bahaya dan konsekuensi dari perbuatan tersebut, ada baiknya kita melihat bagaimana pengertian gibah itu sendiri. Sebab, boleh jadi banyaknya orang yang berbuat gibah lantaran belum mengenali batasan-batasannya.

Seorang sobat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa itu gibah, ya Rasul?”. Beliau menjelaskan, “(Gibah itu) menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.”

Sahabat tadi bertanya lagi, “Bagaimana kalau apa yang saya ceritakan itu benar-benar terjadi pada saudaraku?”

Dijawab oleh Rasulullah SAW, “Jika apa yang engkau ceritakan itu benar-benar terjadi, berarti engkau telah menggunjingnya. Namun, kalau apa yang engkau ceritakan itu tidak terjadi, berarti engkau telah berbuat kebohongan padanya.”

Dari hadits di atas, sanggup disimpulkan bahwa gibah artinya menceritakan apa yang terjadi pada orang lain yang apabila terdengar oleh orang yang diceritakannya niscaya tidak menyukainya, meski apa yang diceritakan itu benar-benar terjadi padanya.

Suatu hari, Siti Aisyah pernah bercerita di hadapan Nabi SAW ihwal seorang wanita. Terakhir, Siti Aisyah memungkas, “Alangkah pendeknya perempuan itu, ya Rasul!”. Mendengar demikian, ia pribadi menegur, “Sungguh engkau telah menggunjingnya”. Pernyataan Rasulullah SAW itu mengisyaratkan bahwa apabila yang disampaikan Siti Aisyah itu terdengar oleh perempuan tadi, niscaya tidak menyukainya, meski keadaan perempuan tersebut memang demikian adanya.



Anehnya, mengapa para pelaku gibah seakan mendapat “kenikmatan” tersendiri dikala melakukannya. Tidaklah mengherankan lantaran Iblis senantiasa menarik hati insan melalui aneka macam pintu, termasuk dari gibah ini.

Konon, bibir orang-orang yang bahagia berbuat gibah, oleh Iblis dilumati dengan madu, sebagaimana dikisahkan Imam Al-Ghazali dalam “Mukasyafatul Qulub”. Tujuannya biar mereka selalu merasa “manis” dikala membicarakan dan membuatkan malu orang.

Dikisahkan, dalam sebuah perjalanan, Nabi Isa AS pernah bertemu dengan Iblis yang sedang membawa madu di salah satu tangannya dan membawa bubuk di tangan lainnya.

Ditanya oleh Nabi Isa, “Apa yang akan kamu lakukan dengan madu dan pasir itu, hai musuh Allah?”

Iblis menjawab, “Madu ini akan saya oleskan pada bibir para mahir gibah biar mereka merasa cantik dan semakin ulet melaksanakan gibahnya. Sementara bubuk ini saya balurkan pada wajah bawah umur yatim, sehingga orang-orang merasa benci kepada mereka”.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Kisah Obrolan Nabi Isa Dengan Iblis Ihwal Menggunjing

Pada zaman Nabi Musa, pernah terjadi masyarakat ramai-ramai menolak memandikan dan menguburkan mayit seorang laki-laki. Di mata orang-orang, lelaki ini tak lebih dari sampah masyarakat. Perilakunya fasiq. Gemar melakukan dosa besar ataupun dosa kecil secara terus-menerus. Tak hanya menolak mengurus jenazahnya, masyarakat bahkan menyeret kaki mayat lelaki tersebut lalu membuangnya di gundukan kotoran hewan.

Atas tragedi ini, Allah menunjukkan wahyu kepada Nabi Musa. 

“Hai Musa. Di kampung Fulan, ada seorang laki-laki meninggal dunia, sedang ia dibuang pada tumpukan kotoran hewan. Masyarakat tidak ada yang mau memandikan, mengafani dan menguburkannya. Padahal yang mati itu yakni satu di antara kekasih-Ku. Datangilah dia. Kamu mandikan, kafani, shalatkan, dan kebumikan orang itu.”

Usai menerima perintah demikian, Nabi Musa menuju lokasi yang dikehendaki. Nabi Musa mencoba bertanya wacana siapa gotong royong orang yang baru saja meninggal tersebut kepada warga sekitar. 

“Oh, itu dia sikapnya begini, begini. Dia yakni orang fasiq. Suka menampakkan perilaku dosa besarnya kepada masyarakat dengan terus terang,” terang warga sekitar mengomentari si mayat yang dimaksud.

“Bisakah saya ditunjukkan di mana letak mayat itu berada? Allah menyuruhku datang ke sini semata-mata karena lelaki itu,” pinta Nabi Musa. 

Nabi Musa bersama orang-orang sekitar pun jadinya hingga di lokasi keberadaan mayat. Beliau melihat ada mayit terbuang di atas kotoran binatang serta mendengar keterangan buruknya perilaku si mayat ibarat si mayat memang di masa hidupnya menjadi sampah masyarakat. Nabi Musa lalu bermunajat kepada Allah. 

“Wahai Tuhanku. Engkau telah menyuruhku menyalati dan mengebumikan mayat lelaki ini. Namun masyarakat sekitar jelas-jelas menyaksikan bahwa mayat ini yakni orang buruk. Engkaulah yang paling tahu apakah mayit ini patut dipuji atau dicela.”

Mendapat aduan demikian, Allah menjawab, “Hai Musa, memang benar apa yang diceritakan masyarakat sekitar wacana perilaku buruk mayat tersebut semasa hidupnya. Namun, saat akan wafat, dia telah meminta perlindungan kepada-Ku  dengan tiga hal. Andai saja tiga hal ini semua orang yang berlumur dosa memintanya kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya. Bagaimana mungkin Aku tidak mencintai dia, sedang ia sudah meminta belas kasihan kepada-Ku, padahal Aku yakni Dzat yang Mahakasih dari semua yang mampu berbelas kasih.” 

Nabi Musa kembali bertanya kepada Allah. “Apa tiga hal tersebut, ya Allah?.”

Allah menjawab, pertama, saat mendekati waktu wafatnya, lelaki ini berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu wacana kepribadianku. Aku yakni pelaku berbagai maksiat. Meski begitu, hatiku begitu benci terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, ialah dorongan hawa nafsuku yang membara. Aku tidak besar lengan berkuasa mengendalikannya, sehingga saya terjerumus melakukan maksiat. Selain itu, teman-teman, komunitas, serta lingkunganku yang buruk, dampak godaan iblis, semuanya menjadikan saya jatuh ke lembah kemaksiatan. Sungguh, Engkau mengetahui wacana diriku ini atas apa yang telah saya adukan. Maka, ampunilah hamba-Mu ini.” 

Kedua, sebelum wafat, lelaki tersebut juga berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya pelaku berbagai kemaksiatan. Kedudukanku, derajatku, pasti setara dengan orang-orang fasiq. Namun, meski begitu, dalam hatiku, saya lebih suka berteman dengan orang-orang shalih. Aku suka cara-cara mereka menjauhkan hati dari gebyar gemerlap duniawi (zuhud). Sejatinya saya suka duduk bersama mereka. Hal tersebut lebih saya cintai daripada hidup bersama para pelaku dosa.”

Ketiga, dia juga berkata begini, “Ya Tuhan. Engkau pastinya tahu bahwa orang-orang shalih lebih saya cintai daripada orang-orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang yang satu shalih dan yang satu buruk di depan mataku, pasti saya akan mendahulukan kebutuhan orang shalih daripada orang jelek.” 



Riwayat dari Wahb bin Munabbah mengatakan, lelaki itu juga berkata kepada Allah, “Ya Allah, jikalau Engkau mengampuni semua dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Mereka akan bergembira. Setan yang menjadi musuhku dan musuh-Mu pasti akan bersedih hati. Jika Engkau menyiksaku karena berbagai dosa yang saya perbuat, setan dan teman-temannya akan bergembira ria. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu akan menjadi sedih. Padahal saya yakin, kebahagiaan kekasih-Mu lebih Engkau sukai daripada kebahagiaan setan-setan. Ampunilah dosaku, Tuhan. Engkau sangat tahu atas apa yang saya sampaikan. Berikan saya belas-kasihan-Mu.” 

“Dengan demikian,” kata Allah, “Aku belas-kasihani dia. Aku ampuni dosa-dosanya, karena Aku Maha-pengasih dan penyayang terlebih kepada orang yang mengakui atas dosanya di hadapan-Ku. Nah, orang ini telah mengakui dosanya, saya ampuni dia. Hai Musa, lakukan apa yang Aku perintahkan. Atas kehormatannya, Aku ampuni siapa pun yang menyalati jenazahnya dan hadir pada pemakamannya.” (Sumber: Muhammad bin Abu Bakar, al-Mawâ’idh al-Ushfûriyyah, halaman 3)

Pada kisah di atas, mampu kita ambil pelajaran, pertama, kita tidak boleh memvonis siapa pun sebagai andal neraka. Karena urusan surga dan neraka merupakan urusan Allah. Kita hanya perlu menyikapi satu hal secara lahiriyahnya saja. 

Kedua, orang yang meninggal dalam keadaan Islam, walaupun semasa hidupnya bergelimang kemaksiatan, ia tetap harus dirawat sebagaimana mayit orang Muslim pada umumnya.

Ketiga, kita perlu waspada kepada siapa saja untuk tidak berprasangka buruk kepada mereka. Sehingga kita menjadi merasa lebih baik daripada mereka. Siapa tahu, orang yang buruk itu karena mereka berilmu mengolah hati serta rasa, mereka lebih dicintai Allah daripada kita. 

Keempat, perilaku kita, saat bertemu dengan orang yang faktual melakukan kemungkaran yakni bukan dengan cara mencaci makinya. Namun, ingkar di hati seraya mendoakan kepada Allah biar diberikan hidayah-Nya. Andai saja ternyata dia lebih baik dari kita, kita berharap, doa tersebut menjadi pintu Allah mengampuni kita karena kita mencintai sesama  saudara kita. 

Kelima, berpikir, bermunajat, berbisik, berusaha berkomunikasi dengan Allah akan membukakan banyak jalan kita kepada Allah swt.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU 

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Andal Dosa Yang Jadinya Menjadi Kekasih Allah