Halaman

    Social Items

loading...
loading...
Showing posts with label kisah sahabat Nabi. Show all posts
Showing posts with label kisah sahabat Nabi. Show all posts
Saat kita membaca kitab-kitab sirah, Sayyidina Ali tidak dikenal sebagai dokter. Beliau tidak biasa mengobati pasien yang sakit. Beliau lebih dikenal sebagai sosok tangguh yang berpengetahuan luas, sang berilmu kelas kakap di zamannya, juga sang pemimpin yang tegas. Karena keluasan ilmunya, Nabi memberinya gelar “babu al-madinah al-Ilmi”, pintunya kota ilmu. “Aku ialah kotanya ilmu, sedangkan Ali ialah pintunya,” demikian sabda Nabi yang populer itu.

Bukan Sayyidina Ali bila tidak mampu memecahkan masalah, termasuk di dunia medis. Suatu saat Ali didatangi seorang laki-laki yang mengadukan sakit perut. Ia meminta Ali untuk mengobatinya. Laki-laki ini tidak berpikir bahwa Ali bukan dokter, yang ia tahu ialah Sahabat Ali ialah orang yang multi talenta, apa pun masalahnya mampu diatasi.

“Aku memohon petunjuk dari engkau untuk mengobati sakit perutku ini,” pinta laki-laki tadi. Tanpa pikir panjang, Ali bin Abi Thalib segera menyampaikan resepnya. Beliau mengatakan: “Ambillah dari mahar istrimu sebanyak dua dirham dan belilah madu. Campurlah madu itu dengan air hujan yang baru turun dari langit, kemudian minumlah.” 

Laki-laki tadi penasaran, dari mana Ali mengetahui resep itu. Sebelum sempat menanyakan, Ali sudah menjawabnya dengan penjelasan selanjutnya. Sang mantu Nabi ini mengatakan: “Sesungguhnya aku mendengar firman Allah ihwal air hujan: “Dan kami turunkan dari langit air yang memberkahi.” (QS. Qaf: 9). Aku juga mendengar Allah berfirman ihwal madu: “Di dalam madu terdapat obat bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69). Dan aku mendengar Allah berfirman ihwal mahar istri: “Kemudian bila mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) sumbangan itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4).



Dalam riwayat lain, versi Syekh Abdu bin Humaid dan lainnya disebutkan redaksi yang senada, bahwa Sayyidina Ali berkata:

“Bila kalian merasakan sakit, maka mintalah kepada istrimu tiga dirham atau lainnya, belikan darinya madu dan campurlah dengan air hujan, ia telah mengumpulkan antara sedap, baik akibatnya, obat dan keberkahan.”

Sayyidina Ali memadukan tiga unsur keberkahan untuk mengobati sakit perut pasiennya tadi. Air hujan, madu, dan mahar istri. Layaknya seorang dokter yang meracik obat dari beberapa unsur yang berbeda. Sayyidina Ali berhasil mengobati pasiennya. Beliau memadukan resep-resepnya dari ayat Al-Qur’an dengan sangat piawai. Beliau mengumpulkan antara keberkahan (air hujan), obat (madu), sedap (hanĂ®’) dan baik akhirnya (marĂ®’a).

Mahar istri sebagaimana dijelaskan oleh para ulama memang mengandung banyak keberhakan. Meski mahar ialah hak istri, namun bila istri merelakannya untuk digunakan suami, maka dalam pandangan fiqih boleh digunakan. Sebagian ulama bahkan menyebutkan bahwa mahar istri baik sekali untuk digunakan modal usaha suami, tentu sehabis melalui proses musyawarah dengan istri.

Demikianlah resep obat sakit perut menurut Sayyidina Ali radliyallahu ‘anh, sebelum dicoba, penulis sarankan untuk mengonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Sayyidina Ali Menyebabkan Air Hujan Sebagai Obat

Tidak ada kawan dan lawan infinit dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Begitulah adagium yang berkembang di dalam masyarakat. Apapun dilakukan untuk menyerang lawan politiknya. Entah itu memfitnah, menyebar hoax, ataupun mengaburkan fakta. Asal dirinya dan kelompoknya menang dan dipandang baik oleh masyarakat.   

Baginya, lawan politik selalu salah. Apapun yang dilakukan pasti tidak ada bagusnya. Tidak jarang mereka selalu menafikan keunggulan dan keutamaan lawan politiknya. Bahkan tidak segan-segan membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Pertarungan sengit antar elit politik tidak hanya berlangsung pada hari-hari ini saja. Pada era sahabat Nabi pun juga ada perselisihan politik yang tajam diantara mereka. Salah satunya apa yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Keduanya terlibat friksi yang tajam hingga hasilnya terjadilah Perang Shiffin. Perang saudara antar sesama umat Islam. 

Tidak lain, perang tersebut disulut faktor kekuasaan. Pada dikala Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat, banyak gubernur –yang dulunya diangkat Khalifah Utsman- dicopot. Para gubernur yang diganti tersebut tidak terima. Akhirnya mereka membelot dan menguatkan barisan di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan. 

Keadaan semakin runcing hingga perang saudara menjadi sesuatu yang tidak sanggup dihindarkan. Banyak korban berjatuhan simpulan perang tersebut. Yang lebih menyedihkan, timbul kebencian diantara kedua kubu. Keduanya juga saling menjelekkan dan menganggap yang lainnya jelek.

Namun demikian, terlepas dari segala kontroversinya, kita sanggup belajar dari Muawiyah bin Abu Sufyan perihal bagaimana mengakui keunggulan dan keutamaan lawan politiknya, Ali bin Abi Thalib. Dalam buku Islamic Golden Stories: Tanggung Jawab Pemimpin Muslim, dikisahkan bahwa suatu dikala Muawiyah berusaha menjelek-jelekkan Ali bin Abi Thalib di hadapan Adiy bin Hatim. Perlu diketahui bahwa anak-anak Adiy bin Hatim berada di pihak Ali bin Abi Thalib dan gugur pada dikala Perang Shiffin melawan Muawiyah.

“Sejatinya Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib) berlaku tidak adil kepadamu. Ia menempatkan anak-anakmu di barisan depan, sedangkan anak-anaknya (Hasan dan Husein) ditempatkan di barisan belakang” kata Muwaiyah menghasut Adiy bin Hatim agar membenci Ali bin Abi Thalib.



Jawaban Adiy bin Hatim tidak sesuai dengan apa yang diperlukan Muawiyah. Adiy malah menyebut dirinyalah yang tidak adil sebab yakni tidak ikut berperang di barisan Ali. Tidak cukup hingga itu, Adiy juga membeberkan beberapa keunggulan dan keutamaan Ali bin Abi Thalib di hadapan Muawiyah. Disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib yakni orang yang adil, tegas, berpengetahuan luas, arif, sederhana, menghormati orang yang taat, dan mengasihi yang miskin. Ali bin Abi Thalib juga dinilai sebagai orang yang berpandangan jernih, membenci kehidupan yang berlebihan, dan tanggap terhadap rakyatnya.    

Awalnya Muawiyah berencana untuk menghasut Adiy bin Hatim agar mendengki Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, sehabis mendengar aneka macam macam testimoni dari Adiy bin Hatim perihal Ali bin Abi Thalib, Muawiyah tidak kuasa untuk menitikkan air mata. Akhirnya, ia membenarkan apa yang disampaikan Adiy bin Hatim tersebut.

“Kiranya Allah mengasihi Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib). Dia memang mirip yang engkau kemukakan,” kata Muawiyah dengan isak tangis mengakui keutamaan dan keunggulan Ali bin Thalib.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Pertarungan Politik Antara Sayyidina Ali Dengan Muawiyah

Abdurrahman bin Auf yaitu salah seorang sahabat Nabi yang populer dalam sejarah Islam. Selain dikenal kaya raya, ia juga dermawan. Padahal waktu mula-mula hijrah ke Madinah dari Mekah, dia tidak mempunyai apa-apa. 

Siapa yang tidak terharu melihat Abdurrahman dikala hijrah ke Madinah tahun 622 M. Dia datang tanpa bekal sedikit pun. Kekayaan yang dimilikinya, hanyalah pakaian yang melekat ditubuhnya. Oleh karena itu Rasulullah segera mempersaudarakan Abdurrahman dengan Sa’ad bin Rabi, seorang hartawan di Madinah. 

Ternyata Sa’ad bin Rabi seorang hartawan yang sangat luhur budinya. Dia bersedia menyampaikan modal yang besar kepada Abdurrahman bin Auf. Bahkan, dia menyampaikan perempuan di antara keluarganya untuk dijadikan istri. 

”Terima kasih atas kebaikan Saudara. Semoga Allah membekati harta dan keluargamu,” jawab Abdurrahman sambil menjabat tangan temannya. Lalu katanya lagi, ”Sekarang begini saja, tunjukkanlah padaku, di mana letak pasar, semoga saya berusaha sendiri.” begitu kira-kira balasan Abdurahman atas anjuran itu.  



Tetapi jangan dikira bahwa dia cuma sibuk cari uang saja. Di samping giat berdagang, Abdurrahman juga sibuk mengajar. Bahkan di medan perang pun tergolong perwira yang berani. Oleh karena itu, dia termasuk kelompok al-asymh, yaitu: ”sepuluh orang termasyhur”. Di bidang pemerintahan, termasuk kelompok yang paling sering diajak berunding bahwasanya Rasulullah. 

Hasil usahanya di pasar, ia kemudian menjadi salah seorang sahabat Nabi yang kaya raya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dia tidak pelit. Abdurrahman bin Auf menyumbangkan setengah dari kekayaannya. Nah, berapa jumlah sumbangannya? Uang 60.000 dinar, 500 ekor kuda dan 500 ekor unta, dan ”uang saku” sebanyak 400 dinar untuk tiap prajurit. Bukan main!

Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan yang memulai usahanya dengan modal nol. Dia lahir tahun 581 M dan wafat tahun 652 M (tepatnya tahun 30 H) dalam usia 72 tahun.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Pengusaha Sukses Yang Dermawan Pada Era Nabi

Nama lengkapnya Flavius Heraclius Augustus. Seorang putra dari pasangan Constan II dan Fausta. Ia menjadi penguasa tertinggi Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium pada sejak 5 Oktober 610 M hingga 11 Februari 641 M. Tercatat, beberapa kali Heraclius bersitegang dengan kaum Muslim. Salah satunya pada saat perang Yarmuk, pertempuran yang terjadi empat tahun setelah Nabi Muhammad saw. wafat.

Setelah mengetahui Damaskus dan Emesa jatuh lepas dari kekuasaan Bizantium, Heraclius memimpin langsung puluhan hingga ratusan ribu pasukan melawan kaum Muslim. Hingga alhasil terjadilah pertempuran Yarmuk yang terjadi di sekitar sungai Yarmuk, Yordania. Meski menang dalam jumlah pasukannya, namun peperangan dimenangkan pihak kaum Muslim.

Dalam bukunya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, Edward Gibbon menilai bahwa Heraclius ialah salah seorang pemimpin yang luar biasa. Namun sayangnya, ia tidak konsisten. Di final pemerintahannya, Heraclius menjadi kemalasan, takhayul, dan tidak berdaya melawan malapetaka.

Dikisahkan, bahwa suatu saat Heraclius mengajukan beberapa pertanyaan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, Khalifah pertama Dinasti Umayyah. Entah apa maksud pengajuan pertanyaan tersebut. Apakah untuk mengujinya atau betul-betul ingin menerima jawaban. Namun yang pasti, sederet pertanyaan tersebut sangat sulit hingga membuat Muawiyah mengernyitkan dahi. 

Berikut pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam surat Heraclius untuk Muawiyah sebagaimana yang tertera dalam buku Islamic Golden Stories: Para Pemimpin yang Menjaga Amanah:

Salam Sejahtera kami sampaikan kepada Anda. Mohon kiranya Anda memberitahukan kepada kami, ucapan apa yang paling disenangi Tuhan, kedua, ketiga, keempat, dan kelima? Siapa hamba yang paling mulia? Siapa perempuan yang paling mulia? Ada empat hal yang di dalamnya terdapat ruh, tetapi tidak bersemayam dalam rahim? Kubur apa yang berjalan membawa penghuninya?

Muawiyah bin Abu Sufyan langsung memanggil para ulama penasihatnya. Namun sayang, tak satu pun dari mereka yang mampu menjawab sederet pertanyaan dari Heraclius tersebut. Lalu satu dari mereka ada yang usul biar sang khalifah menanyakannya kepada Abdullah bin Abbas. Salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang sangat cerdas, alim, dan memiliki kekuatan hafalan yang kuat. Saudara sepupu Nabi Muhammad saw. ini dikenal sebagai seorang andal tafsir Al-Qur’an.

Makam Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas)


Muawiyah bin Abu Sufyan mengirimkan utusan ke Abdullah bin Abbas dengan membawa beberapa pertanyaan dari Heraclius tersebut. Abdullah bin Abbas kemudian membalas surat Muawiyah dengan menyertakan jawaban. Ucapan yang paling disukai Allah ialah La ilaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah). Alasannya, kalimat tersebut menjadi dasar atas diterimanya semua amal perbuatan. Ucapan kedua ialah Subhanallah (Maha Suci Allah). Menurut Abdullah bin Abbas, semua makhluk di alam semesta ini shalat dengan cara mengucapkan lafal  Subhanallah.

Selanjutnya ialah Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah). Keempat ialah Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Dan terakhir La haula wala quwwata illa billah (Tidak ada daya dan upaya selain dengan daya dan upaya Allah).

Abdullah bin Abbas menjawab, Nabi Adam as. ialah hamba yang paling mulia. Mengapa? Karena Nabi Adam as. diciptakan langsung Allah dan diajarkan beberapa nama. Sementara Maryam ialah perempuan yang paling mulia di dunia ini. 

Untuk pertanyaan, Ada empat hal yang di dalamnya terdapat ruh, tetapi tidak bersemayam dalam rahim?. Abdullah bin Abbas menjawab Nabi Adam as., Hawa, tongkat Nabi Musa as., dan domba kurban Nabi Ibrahim. Adapun pertanyaan terakhir; kubur yang membawa penghuninya ialah perut ikan paus yang menelan Nabi Yunus as.

Muawiyah bin Abu Sufyan merasa puas dengan jawaban-jawaban yang diperoleh dari Abdullah bin Abbas tersebut. Jawaban itu kemudian dikirim ke Heraclius yang berada di Konstantinopel.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Kecerdasan Sayyidina Abdullah Bin Abbas