Halaman

    Social Items

loading...
loading...
Showing posts with label kisah hikmah ulama. Show all posts
Showing posts with label kisah hikmah ulama. Show all posts
Hari itu ialah Sabtu final bulan Oktober 2018. Sehari sebelum aku take off pulang ke Tanah Air. Seperti biasa agenda Syeikh Yusri ialah pengajian kitab Shahih Bukhari. Yang bertempat di Masjid Imam Dardiri setiap Sabtu pagi.

Karena mau pulang atau istilahnya “boyongan”, pada hari itu aku memberanikan untuk “matur” dan meminta barokah doa agar diberi kelancaran dalam perjalanan dan kemanfaatan dalam proses berguru aku di bumi kinanah (Mesir). Terutama di Masjid Al Azhar dan Universitas Al Azhar.

Beliau berpesan untuk selalu mengikuti pelajaran beliau. Karena pengajian dia sanggup diakses meskipun dengan jarak jauh melalui fanspage beliau. Dan dia juga berpesan jangan banyak tidur.

Lalu tibalah ketika musofahah dan foto-foto.

Dan sehabis berfoto aku matur bahwa aku ialah murid dari Mbah Maimoen Zubair.

Beliau pun agak terkaget dan sontak dawuhan :

متأكد؟ ماشاء الله. الشيخ ميمون ولي من أولياء الله. كان عمره أكتر من تسعين سنة في أندونيسيا . سلم سلامي عليه

“Masya Allah, engkau sungguh murid beliau? Syeikh Maimoen ialah salah satu wali dari wali-wali Allah di Indonesia. Umur dia lebih dari 90 tahun. Sampaikan salamku kepadanya”. 

Mbah Maimoen mencium tangan Syaikh Yusri

Kebersamaan Syaikh Yusri dan Mbah Maimoen

Lalu jamaah dia yang orang Mesir orisinil terkejut. Dan dia menjelaskan bahwa Mbah Maimoen ialah sosok ulama sepuh yang sudah mencapai derajat kewalian. Dan dia berpesan untuk memberikan salam kepada Mbah Moen.

Cukuplah menjadi pujian dunia dan alam abadi siapapun yang menjadi santri dari Romo KH. Maimoen Zubair.

Cairo. 27 Oktober 2018

Penulis: Zacka Muhammad
Sumber: bangkitmedia.com

Pengakuan Ulama Mesir Atas Kewalian Kh. Maimoen Zubair

Suatu saat Mbak Alissa Wahid pernah bercerita kepada saya, kalau dia sering sowan KH. Maimoen Zubair dan ibarat biasa, mencium tangan beliau. Kemudian tanpa risih, Kyai Sepuh yang Khos ini membalas dengan mencium tangan Mbak Alissa.

Kenapa? Karena bagi Mbah Mun, Mbak Alissa ialah cicit Hadratussyaikh, guru Mbah Moen.

Bahkan dalam sebuah dongeng yang sangat populer, Syaikhona Kholil Bangkalan melarang murid-muridnya menaiki kuda dari Bima (NTB), apalagi menjadikannya penarik dokar. Kenapa? Karena Syeikh Abdul Gani Albimawy, guru Syaikona itu dari Bima.

Keluarga Gus Dur sowan ke rumah Mbah Maimoen
Mbah Maimoen silaturahmi ke rumah Gus Dur


Siapapun yang pernah berguru ta’lim muta’alim tahu, mereka yang ditinggikan derajatnya itu bukan hanya alasannya ialah keilmuannya, tapi etika atau sikap terhadap guru dan orang tua.

Makara paham ya Gaes, kenapa banyak yang marah. Ini bukan hanya soal doa yang tertukar atau guyonan politik nggak mutu itu. Tapi etika santri dengan Kyai, Guru…


Sumber: bangkitmedia.com

Penghormatan Kh. Maimoen Zubair Kepada Putri Gus Dur

Tidak diragukan bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang istimewa dan memiliki banyak keutamaan dan manfaat, baik bagi pembacanya, orang lain maupun bagi orang yang dimaksudkan pembacaannya. Salah satu kisah tentang fadlilah atau keutamaan shalawat yaitu apa yang diceritakan oleh Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani di dalam kitab Afdlalus Shalawat ‘ala Sayyidis Sadat.

An-Nabhani mengisahkan bahwa Al-Hafidh As-Sakhawi pernah bertutur:

Seorang ibu datang menghadap kepada Syekh Hasan Al-Bashri. Kepada sang alim itu si ibu bercerita tentang anak perempuannya yang telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.

“Saya ingin bermimpi melihatnya, Syekh,” katanya kemudian.

Melihat keinginan sang ibu yang begitu kuat Syekh Hasan Al-Bashri kemudian memberi beberapa amalan untuk dilakukan.

“Setelah shalat Isya lakukanlah shalat sunnah empat rakaat. Di setiap rakaatnya bacalah surah al-Fatihah dan at-Takatsur sekali. Setelah itu tidurlah dengan posisi miring sambil membaca shalawat kepada Nabi hingga dengan engkau tertidur.”

Maka, sang ibu mengamalkan apa yang diajarkan oleh Syekh Hasan Al-Bashri. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat anak perempuannya dalam keadaan disiksa. Ia memakai pakaian dari api, kedua tangannya dibelenggu dan kedua kakinya diikat dengan rantai api. 

Ketika terbangun dari tidurnya, sang ibu segera menemui Syekh Hasan Al-Bashri dan menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Mendengar kisah dari sang ibu, ia memberi saran untuk bersedekah dengan cita-cita Allah berkenan mengampuni anak perempuannya.



Pada malam harinya Syekh Hasan Al-Bashri bermimpi seperti berada di pertamanan surga. Di sana ada sebuah kasur yang terbentang. Di atasnya ada seorang perempuan berwajah anggun dengan mahkota cahaya bertanggar di kepalanya.

Kepada Syekh Hasan Al-Bashri, perempuan itu berkata, “Ya Hasan, kau mengenaliku?”

“Tidak,” jawab Syekh Hasan

Perempuan itu mengatakan, “Aku yaitu anak perempuan dari seorang ibu yang engkau perintahkan untuk membaca shalawat.”

Syekh Hasan Al-Bashri menyerupai tak percaya. “Ibumu itu menceritakan tentang dirimu bukan dengan keadaan menyerupai ini,” katanya.

“Apa yang disampaikan ibuku itu memang benar adanya,” timpal perempuan itu.

“Lalu apa yang menjadikanmu mendapat kemuliaan menyerupai ini?” tanya Syekh Hasan

“Kami ada tujuh puluh ribu jiwa yang sedang mengalami siksaan sebagaimana diceritakan ibuku kepadamu. Satu hari seorang yang saleh lewat di pemakaman kami sambil membaca shalawat Nabi sekali dan menghadiahkan pahalanya untuk kami. Allah mendapat shalawat yang dibacanya itu dan membebaskan kami semua dari siksaan, alasannya yaitu yaitu berkah dari laki-laki saleh tersebut. Kini sampailah saya pada derajat sebagaimana yang engkau lihat ini.”

Bila tujuh puluh ribu jago kubur mampu diselamatkan dari siksaan hanya dengan satu kali shalawat saja, maka bagaimana dengan orang yang membacanya?

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Shalawat Nabi Sanggup Menghentikan Siksa Kubur

Di kala media sosial mirip saat ini, pembahasan konflik dan intrik politik cenderung lebih menarik mengalahkan tema kebijaksanaan pekerti, akhlaqul karimah atau tema sejenis lainnya. Akibatnya sifat baik mirip tawadhu’ menjadi barang langka yang asing dan seolah tak penting.

Namun, bukan berarti sifat ini telah sepenuhnya hilang. Ia masih ada dan terus tumbuh di lembaga pendidikan bernama Pondok Pesantren. Para kiai di kalangan NU juga masih memegang teguh prinsip sifat ini. Kiai Masbuhin Faqih (71), Pengasuh Pondok Pesantren Mambaus Sholihin salah satunya. Beliau ialah salah seorang kiai sepuh yang meletakkan tawadhu' di tempat yang sangat tinggi. Walaupun merupakan kiai besar dengan jumlah santri dan alumni hingga puluhan ribu, namun ia tak jumawa. Rasa hormat dan ta’dhim pada guru-gurunya tetap dijunjungnya tinggi-tinggi.

Sifat tawadlu'nya tampak saat disowani oleh Kiai Muda Dr. Afifuddin Dimyati (39), Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Qur’an, Rejoso, Peterongan, Jombang pada Ahad (7/10/2018) pagi. Saat keduanya bersalaman, Kiai Masbuhin yang 32 tahun lebih amis tanah berusaha mencium tangan sang tamu, namun tak berhasil.

Kiai Masbuhin lantas memberikan “Kulo (saya) yang seharusnya mencium tangan panjenengan," sambil mendekat berusaha meraih tangan sang tamu, namun ditolak secara halus. 
Gus Afif memang bukan guru yang pernah memberi pelajaran pada Kiai Masbuhin. Namun, nasab Gus Afif hingga pada guru-guru Kiai Masbuhin. Dari jalur ayah, Gus Afif ialah putra Kiai Dimyati bin Kiai Romli At-Tamimi. Kiai Romli At-Tamimi sendiri merupakan guru dari Kiai Utsman Al-Ishaqi, yang tak lain ialah guru Kiai Masbuhin. Sementara di sisi ibu, Gus Afif merupakan cucu dari Kiai Ahmad Marzuki Zahid Langitan yang juga merupakan guru Kiai Masbuhin Faqih. Silsilah itulah yang membuat Kiai Masbuhin begitu menghormati Gus Afif mirip menghormati gurunya sendiri. 

Sebenarnya, cerita tingginya sifat tawadhu' Kiai Masbuhin pada gurunya telah banyak berkembang. Alkisah, pernah pada suatu hari, seorang santri laki-laki asuhan Kiai Masbuhin meminta sang kiai untuk melamarkan seorang gadis untuk dijadikan istri. 

Pada waktu yang ditetapkan, berangkatlah sang kiai menuju rumah sang gadis yang akan dilamarkan. Akan tetapi sesampainya di lokasi, Kiai Masbuhin batal melamarkan santrinya, setelah mengetahui bahwa sang gadis merupakan alumni Pondok Pesantren Langitan, Jawa Timur, tempat ia menimba ilmu selama belasan tahun. Konon, Kiai Masbuhin ‘tak berani’ melamarkan alasannya takut su’ul moral pada gurunya. 

Gambaran Ketawadhu'an Para Kiai


Profil Kiai Masbuhin Faqih dan Sejarah Mamba'us Sholihin

Kiai yang oleh masyarakat Gresik dikenal dengan nama Yai Buhin dilahirkan di desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik, pada 31 Desember 1947 atau 18 Shafar 1367 H dari pasangan KH. Abdullah Faqih dan Nyai Hj Tswaibah. Jika dirunut lebih jauh, silsilah Kiai Masbuhin akan hingga ke Sunan Giri.

Sanad keilmuan Kiai Masbuhin secara formal berasal dari dua Pondok Pesantren, yakni Gontor dan Langitan. Di Gontor, ia menimba ilmu sejak di kursi Madrasah Tsanawiyah hingga Madrasah Aliyah sambil memperdalam bahasa Arab dan Inggris. Setelah lulus, ia melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, di bawah pimpinan KH. Abdul Hadi dan KH. Abdullah Faqih. Di sana Masbuhin muda memperdalam ilmu Nahwu, Shorof, Fiqh, Tauhid, Tasawwuf dan lain-lain, selama lebih dari 17 tahun. 

Kelak sistem kedua pesantren ini diduplikasi dan diterapkan di Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin; yakni mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti  Langitan dan mewajibkan santrinya berbahasa Arab dan Inggris mirip Gontor. Dari sana pula Mambaus Sholihin dikenal dengan istilah pondok ‘salafi-modern’.

Di tahun 2018 ini, Mambaus Sholihin yang didirikan oleh sang ayah KH. Abdullah Faqih dari sebuah surau kecil telah menginjak usia 49 tahun. Pada awalnya, pondok ini bernama “At-Thohiriyah” menyesuaikan dengan nama desa; Suci. Namun, nama itu kemudian diganti menjadi “Mambaus Sholihin”, sesuai dengan derma guru Mursyid Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah, KH. Utsman Al-Ishaqi.

Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Mambaus Sholihin saat ini telah berubah menjadi menjadi sebuah institusi pesantren yang terbesar di tempat Pantai Utara Pulau Jawa. Mamba'us Sholihin menyediakan pembelajaran mulai dari level Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah hingga perguruan tinggi tinggi bernama Istitut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA). Saat ini, Mambaus Sholihin juga telah berkembang dengan memiliki sembilan cabang pesantren hingga di luar Jawa.

Cara berdakwah Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin juga mengalami adaptasi. Di kala digital mirip saat ini, metode dakwah di Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin tidak hanya ditempuh melalui metode formal dan konvensional secara off line, namun juga disiar-luaskan melalui sejumlah platform digital mirip channel YouTube dan Facebook. 

Kendati demikian, kebesaran nama itu tak membuat sang kiai jumawa. Beliau tetaplah seorang kiai yang meletakkan rasa hormat yang sangat tinggi pada guru-gurunya, termasuk keturunan dari guru-gurunya. Itulah alasan mengapa Kiai Masbuhin Faqih bersikeras hendak mencium tangan Gus Afif yang puluhan tahun lebih muda darinya; alasannya Gus Afif ialah cucu dari guru-gurunya.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Kiai Sepuh Mencium Tangan Kiai Muda