Tidak ada kawan dan lawan infinit dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Begitulah adagium yang berkembang di dalam masyarakat. Apapun dilakukan untuk menyerang lawan politiknya. Entah itu memfitnah, menyebar hoax, ataupun mengaburkan fakta. Asal dirinya dan kelompoknya menang dan dipandang baik oleh masyarakat.
Baginya, lawan politik selalu salah. Apapun yang dilakukan pasti tidak ada bagusnya. Tidak jarang mereka selalu menafikan keunggulan dan keutamaan lawan politiknya. Bahkan tidak segan-segan membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Pertarungan sengit antar elit politik tidak hanya berlangsung pada hari-hari ini saja. Pada era sahabat Nabi pun juga ada perselisihan politik yang tajam diantara mereka. Salah satunya apa yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Keduanya terlibat friksi yang tajam hingga hasilnya terjadilah Perang Shiffin. Perang saudara antar sesama umat Islam.
Tidak lain, perang tersebut disulut faktor kekuasaan. Pada dikala Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat, banyak gubernur –yang dulunya diangkat Khalifah Utsman- dicopot. Para gubernur yang diganti tersebut tidak terima. Akhirnya mereka membelot dan menguatkan barisan di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan.
Keadaan semakin runcing hingga perang saudara menjadi sesuatu yang tidak sanggup dihindarkan. Banyak korban berjatuhan simpulan perang tersebut. Yang lebih menyedihkan, timbul kebencian diantara kedua kubu. Keduanya juga saling menjelekkan dan menganggap yang lainnya jelek.
Namun demikian, terlepas dari segala kontroversinya, kita sanggup belajar dari Muawiyah bin Abu Sufyan perihal bagaimana mengakui keunggulan dan keutamaan lawan politiknya, Ali bin Abi Thalib. Dalam buku Islamic Golden Stories: Tanggung Jawab Pemimpin Muslim, dikisahkan bahwa suatu dikala Muawiyah berusaha menjelek-jelekkan Ali bin Abi Thalib di hadapan Adiy bin Hatim. Perlu diketahui bahwa anak-anak Adiy bin Hatim berada di pihak Ali bin Abi Thalib dan gugur pada dikala Perang Shiffin melawan Muawiyah.
“Sejatinya Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib) berlaku tidak adil kepadamu. Ia menempatkan anak-anakmu di barisan depan, sedangkan anak-anaknya (Hasan dan Husein) ditempatkan di barisan belakang” kata Muwaiyah menghasut Adiy bin Hatim agar membenci Ali bin Abi Thalib.
Jawaban Adiy bin Hatim tidak sesuai dengan apa yang diperlukan Muawiyah. Adiy malah menyebut dirinyalah yang tidak adil sebab yakni tidak ikut berperang di barisan Ali. Tidak cukup hingga itu, Adiy juga membeberkan beberapa keunggulan dan keutamaan Ali bin Abi Thalib di hadapan Muawiyah. Disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib yakni orang yang adil, tegas, berpengetahuan luas, arif, sederhana, menghormati orang yang taat, dan mengasihi yang miskin. Ali bin Abi Thalib juga dinilai sebagai orang yang berpandangan jernih, membenci kehidupan yang berlebihan, dan tanggap terhadap rakyatnya.
Awalnya Muawiyah berencana untuk menghasut Adiy bin Hatim agar mendengki Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, sehabis mendengar aneka macam macam testimoni dari Adiy bin Hatim perihal Ali bin Abi Thalib, Muawiyah tidak kuasa untuk menitikkan air mata. Akhirnya, ia membenarkan apa yang disampaikan Adiy bin Hatim tersebut.
“Kiranya Allah mengasihi Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib). Dia memang mirip yang engkau kemukakan,” kata Muawiyah dengan isak tangis mengakui keutamaan dan keunggulan Ali bin Thalib.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
Sumber https://romanacinta.blogspot.com/
No comments