Halaman

    Social Items

loading...
loading...
Pada zaman Nabi Musa, pernah terjadi masyarakat ramai-ramai menolak memandikan dan menguburkan mayit seorang laki-laki. Di mata orang-orang, lelaki ini tak lebih dari sampah masyarakat. Perilakunya fasiq. Gemar melakukan dosa besar ataupun dosa kecil secara terus-menerus. Tak hanya menolak mengurus jenazahnya, masyarakat bahkan menyeret kaki mayat lelaki tersebut lalu membuangnya di gundukan kotoran hewan.

Atas tragedi ini, Allah menunjukkan wahyu kepada Nabi Musa. 

“Hai Musa. Di kampung Fulan, ada seorang laki-laki meninggal dunia, sedang ia dibuang pada tumpukan kotoran hewan. Masyarakat tidak ada yang mau memandikan, mengafani dan menguburkannya. Padahal yang mati itu yakni satu di antara kekasih-Ku. Datangilah dia. Kamu mandikan, kafani, shalatkan, dan kebumikan orang itu.”

Usai menerima perintah demikian, Nabi Musa menuju lokasi yang dikehendaki. Nabi Musa mencoba bertanya wacana siapa gotong royong orang yang baru saja meninggal tersebut kepada warga sekitar. 

“Oh, itu dia sikapnya begini, begini. Dia yakni orang fasiq. Suka menampakkan perilaku dosa besarnya kepada masyarakat dengan terus terang,” terang warga sekitar mengomentari si mayat yang dimaksud.

“Bisakah saya ditunjukkan di mana letak mayat itu berada? Allah menyuruhku datang ke sini semata-mata karena lelaki itu,” pinta Nabi Musa. 

Nabi Musa bersama orang-orang sekitar pun jadinya hingga di lokasi keberadaan mayat. Beliau melihat ada mayit terbuang di atas kotoran binatang serta mendengar keterangan buruknya perilaku si mayat ibarat si mayat memang di masa hidupnya menjadi sampah masyarakat. Nabi Musa lalu bermunajat kepada Allah. 

“Wahai Tuhanku. Engkau telah menyuruhku menyalati dan mengebumikan mayat lelaki ini. Namun masyarakat sekitar jelas-jelas menyaksikan bahwa mayat ini yakni orang buruk. Engkaulah yang paling tahu apakah mayit ini patut dipuji atau dicela.”

Mendapat aduan demikian, Allah menjawab, “Hai Musa, memang benar apa yang diceritakan masyarakat sekitar wacana perilaku buruk mayat tersebut semasa hidupnya. Namun, saat akan wafat, dia telah meminta perlindungan kepada-Ku  dengan tiga hal. Andai saja tiga hal ini semua orang yang berlumur dosa memintanya kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya. Bagaimana mungkin Aku tidak mencintai dia, sedang ia sudah meminta belas kasihan kepada-Ku, padahal Aku yakni Dzat yang Mahakasih dari semua yang mampu berbelas kasih.” 

Nabi Musa kembali bertanya kepada Allah. “Apa tiga hal tersebut, ya Allah?.”

Allah menjawab, pertama, saat mendekati waktu wafatnya, lelaki ini berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu wacana kepribadianku. Aku yakni pelaku berbagai maksiat. Meski begitu, hatiku begitu benci terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, ialah dorongan hawa nafsuku yang membara. Aku tidak besar lengan berkuasa mengendalikannya, sehingga saya terjerumus melakukan maksiat. Selain itu, teman-teman, komunitas, serta lingkunganku yang buruk, dampak godaan iblis, semuanya menjadikan saya jatuh ke lembah kemaksiatan. Sungguh, Engkau mengetahui wacana diriku ini atas apa yang telah saya adukan. Maka, ampunilah hamba-Mu ini.” 

Kedua, sebelum wafat, lelaki tersebut juga berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya pelaku berbagai kemaksiatan. Kedudukanku, derajatku, pasti setara dengan orang-orang fasiq. Namun, meski begitu, dalam hatiku, saya lebih suka berteman dengan orang-orang shalih. Aku suka cara-cara mereka menjauhkan hati dari gebyar gemerlap duniawi (zuhud). Sejatinya saya suka duduk bersama mereka. Hal tersebut lebih saya cintai daripada hidup bersama para pelaku dosa.”

Ketiga, dia juga berkata begini, “Ya Tuhan. Engkau pastinya tahu bahwa orang-orang shalih lebih saya cintai daripada orang-orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang yang satu shalih dan yang satu buruk di depan mataku, pasti saya akan mendahulukan kebutuhan orang shalih daripada orang jelek.” 



Riwayat dari Wahb bin Munabbah mengatakan, lelaki itu juga berkata kepada Allah, “Ya Allah, jikalau Engkau mengampuni semua dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Mereka akan bergembira. Setan yang menjadi musuhku dan musuh-Mu pasti akan bersedih hati. Jika Engkau menyiksaku karena berbagai dosa yang saya perbuat, setan dan teman-temannya akan bergembira ria. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu akan menjadi sedih. Padahal saya yakin, kebahagiaan kekasih-Mu lebih Engkau sukai daripada kebahagiaan setan-setan. Ampunilah dosaku, Tuhan. Engkau sangat tahu atas apa yang saya sampaikan. Berikan saya belas-kasihan-Mu.” 

“Dengan demikian,” kata Allah, “Aku belas-kasihani dia. Aku ampuni dosa-dosanya, karena Aku Maha-pengasih dan penyayang terlebih kepada orang yang mengakui atas dosanya di hadapan-Ku. Nah, orang ini telah mengakui dosanya, saya ampuni dia. Hai Musa, lakukan apa yang Aku perintahkan. Atas kehormatannya, Aku ampuni siapa pun yang menyalati jenazahnya dan hadir pada pemakamannya.” (Sumber: Muhammad bin Abu Bakar, al-Mawâ’idh al-Ushfûriyyah, halaman 3)

Pada kisah di atas, mampu kita ambil pelajaran, pertama, kita tidak boleh memvonis siapa pun sebagai andal neraka. Karena urusan surga dan neraka merupakan urusan Allah. Kita hanya perlu menyikapi satu hal secara lahiriyahnya saja. 

Kedua, orang yang meninggal dalam keadaan Islam, walaupun semasa hidupnya bergelimang kemaksiatan, ia tetap harus dirawat sebagaimana mayit orang Muslim pada umumnya.

Ketiga, kita perlu waspada kepada siapa saja untuk tidak berprasangka buruk kepada mereka. Sehingga kita menjadi merasa lebih baik daripada mereka. Siapa tahu, orang yang buruk itu karena mereka berilmu mengolah hati serta rasa, mereka lebih dicintai Allah daripada kita. 

Keempat, perilaku kita, saat bertemu dengan orang yang faktual melakukan kemungkaran yakni bukan dengan cara mencaci makinya. Namun, ingkar di hati seraya mendoakan kepada Allah biar diberikan hidayah-Nya. Andai saja ternyata dia lebih baik dari kita, kita berharap, doa tersebut menjadi pintu Allah mengampuni kita karena kita mencintai sesama  saudara kita. 

Kelima, berpikir, bermunajat, berbisik, berusaha berkomunikasi dengan Allah akan membukakan banyak jalan kita kepada Allah swt.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU 

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

Kisah Andal Dosa Yang Jadinya Menjadi Kekasih Allah

TUKANG SHARE
Pada zaman Nabi Musa, pernah terjadi masyarakat ramai-ramai menolak memandikan dan menguburkan mayit seorang laki-laki. Di mata orang-orang, lelaki ini tak lebih dari sampah masyarakat. Perilakunya fasiq. Gemar melakukan dosa besar ataupun dosa kecil secara terus-menerus. Tak hanya menolak mengurus jenazahnya, masyarakat bahkan menyeret kaki mayat lelaki tersebut lalu membuangnya di gundukan kotoran hewan.

Atas tragedi ini, Allah menunjukkan wahyu kepada Nabi Musa. 

“Hai Musa. Di kampung Fulan, ada seorang laki-laki meninggal dunia, sedang ia dibuang pada tumpukan kotoran hewan. Masyarakat tidak ada yang mau memandikan, mengafani dan menguburkannya. Padahal yang mati itu yakni satu di antara kekasih-Ku. Datangilah dia. Kamu mandikan, kafani, shalatkan, dan kebumikan orang itu.”

Usai menerima perintah demikian, Nabi Musa menuju lokasi yang dikehendaki. Nabi Musa mencoba bertanya wacana siapa gotong royong orang yang baru saja meninggal tersebut kepada warga sekitar. 

“Oh, itu dia sikapnya begini, begini. Dia yakni orang fasiq. Suka menampakkan perilaku dosa besarnya kepada masyarakat dengan terus terang,” terang warga sekitar mengomentari si mayat yang dimaksud.

“Bisakah saya ditunjukkan di mana letak mayat itu berada? Allah menyuruhku datang ke sini semata-mata karena lelaki itu,” pinta Nabi Musa. 

Nabi Musa bersama orang-orang sekitar pun jadinya hingga di lokasi keberadaan mayat. Beliau melihat ada mayit terbuang di atas kotoran binatang serta mendengar keterangan buruknya perilaku si mayat ibarat si mayat memang di masa hidupnya menjadi sampah masyarakat. Nabi Musa lalu bermunajat kepada Allah. 

“Wahai Tuhanku. Engkau telah menyuruhku menyalati dan mengebumikan mayat lelaki ini. Namun masyarakat sekitar jelas-jelas menyaksikan bahwa mayat ini yakni orang buruk. Engkaulah yang paling tahu apakah mayit ini patut dipuji atau dicela.”

Mendapat aduan demikian, Allah menjawab, “Hai Musa, memang benar apa yang diceritakan masyarakat sekitar wacana perilaku buruk mayat tersebut semasa hidupnya. Namun, saat akan wafat, dia telah meminta perlindungan kepada-Ku  dengan tiga hal. Andai saja tiga hal ini semua orang yang berlumur dosa memintanya kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya. Bagaimana mungkin Aku tidak mencintai dia, sedang ia sudah meminta belas kasihan kepada-Ku, padahal Aku yakni Dzat yang Mahakasih dari semua yang mampu berbelas kasih.” 

Nabi Musa kembali bertanya kepada Allah. “Apa tiga hal tersebut, ya Allah?.”

Allah menjawab, pertama, saat mendekati waktu wafatnya, lelaki ini berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu wacana kepribadianku. Aku yakni pelaku berbagai maksiat. Meski begitu, hatiku begitu benci terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, ialah dorongan hawa nafsuku yang membara. Aku tidak besar lengan berkuasa mengendalikannya, sehingga saya terjerumus melakukan maksiat. Selain itu, teman-teman, komunitas, serta lingkunganku yang buruk, dampak godaan iblis, semuanya menjadikan saya jatuh ke lembah kemaksiatan. Sungguh, Engkau mengetahui wacana diriku ini atas apa yang telah saya adukan. Maka, ampunilah hamba-Mu ini.” 

Kedua, sebelum wafat, lelaki tersebut juga berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya pelaku berbagai kemaksiatan. Kedudukanku, derajatku, pasti setara dengan orang-orang fasiq. Namun, meski begitu, dalam hatiku, saya lebih suka berteman dengan orang-orang shalih. Aku suka cara-cara mereka menjauhkan hati dari gebyar gemerlap duniawi (zuhud). Sejatinya saya suka duduk bersama mereka. Hal tersebut lebih saya cintai daripada hidup bersama para pelaku dosa.”

Ketiga, dia juga berkata begini, “Ya Tuhan. Engkau pastinya tahu bahwa orang-orang shalih lebih saya cintai daripada orang-orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang yang satu shalih dan yang satu buruk di depan mataku, pasti saya akan mendahulukan kebutuhan orang shalih daripada orang jelek.” 



Riwayat dari Wahb bin Munabbah mengatakan, lelaki itu juga berkata kepada Allah, “Ya Allah, jikalau Engkau mengampuni semua dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Mereka akan bergembira. Setan yang menjadi musuhku dan musuh-Mu pasti akan bersedih hati. Jika Engkau menyiksaku karena berbagai dosa yang saya perbuat, setan dan teman-temannya akan bergembira ria. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu akan menjadi sedih. Padahal saya yakin, kebahagiaan kekasih-Mu lebih Engkau sukai daripada kebahagiaan setan-setan. Ampunilah dosaku, Tuhan. Engkau sangat tahu atas apa yang saya sampaikan. Berikan saya belas-kasihan-Mu.” 

“Dengan demikian,” kata Allah, “Aku belas-kasihani dia. Aku ampuni dosa-dosanya, karena Aku Maha-pengasih dan penyayang terlebih kepada orang yang mengakui atas dosanya di hadapan-Ku. Nah, orang ini telah mengakui dosanya, saya ampuni dia. Hai Musa, lakukan apa yang Aku perintahkan. Atas kehormatannya, Aku ampuni siapa pun yang menyalati jenazahnya dan hadir pada pemakamannya.” (Sumber: Muhammad bin Abu Bakar, al-Mawâ’idh al-Ushfûriyyah, halaman 3)

Pada kisah di atas, mampu kita ambil pelajaran, pertama, kita tidak boleh memvonis siapa pun sebagai andal neraka. Karena urusan surga dan neraka merupakan urusan Allah. Kita hanya perlu menyikapi satu hal secara lahiriyahnya saja. 

Kedua, orang yang meninggal dalam keadaan Islam, walaupun semasa hidupnya bergelimang kemaksiatan, ia tetap harus dirawat sebagaimana mayit orang Muslim pada umumnya.

Ketiga, kita perlu waspada kepada siapa saja untuk tidak berprasangka buruk kepada mereka. Sehingga kita menjadi merasa lebih baik daripada mereka. Siapa tahu, orang yang buruk itu karena mereka berilmu mengolah hati serta rasa, mereka lebih dicintai Allah daripada kita. 

Keempat, perilaku kita, saat bertemu dengan orang yang faktual melakukan kemungkaran yakni bukan dengan cara mencaci makinya. Namun, ingkar di hati seraya mendoakan kepada Allah biar diberikan hidayah-Nya. Andai saja ternyata dia lebih baik dari kita, kita berharap, doa tersebut menjadi pintu Allah mengampuni kita karena kita mencintai sesama  saudara kita. 

Kelima, berpikir, bermunajat, berbisik, berusaha berkomunikasi dengan Allah akan membukakan banyak jalan kita kepada Allah swt.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU 

Sumber https://romanacinta.blogspot.com/

No comments